Senja dan Pertemuan 4

8 0 0
                                    

Aku benar–benar tidak menyangka bahwa wanita paruh baya yang ada di depanku ingat akanku. Padahal sudah 5 tahun aku dengan beliau lebih tidak bertemu, dulu pun waktu aku masih bertemu juga tidak pernah ngobrol lama dengannya.

"Umm... besok lagi kalau pas libur jangan lupa berkunjung," wanita paruh baya itu tersenyum.

"Iya Tante," jawabku sambil tersenyum.

"Mari masuk, Nak. Mari," wanita itu membujukku untuk masuk kedalam rumahnya.

"I-iya Tante, sebentar," jawabku santai sambil melepas helm yang aku kenakan.

"Ayo cepet, lamban kamu, Ndi," tiba-tiba vio yang menjawab sembari menarik tanganku.

Tante Siti, itulah nama dari wanita yang mengajakku masuk ke dalam rumah kecil nan indah tersebut dan wanita yang pernah mengandung Vio selama 9 bulan 15 hari. Terdengar aneh bukan mengingat itu 15 hari. Namun, mungkin kelebihan 5 hari itulah yang membuat Vio sekarang seperti bidadari. Tante Siti sendiri memiliki postur tubuh yang indah dan memiliki wajah yang hampir sama dengan Vio, meskipun masih kalah cantik dengan putrinya.

"Ini tadi darimana e nak kok bisa sampai ketemu Vio?" tanya Tante Siti sambil menghidangkan minuman dingin.

"Dari tempat kerja kemudian ketemu Vio, terus saya diminta nganterin dia pulang."

"Mau maunya kamu Nak disuruh Vio nganterin pulang.".

"Gak papa Tante. Sekali-sekali nganterin dia pulang. Lagian sudah lama sekali saya tidak datang kemari," Aku sedikit tersenyum saat itu agar dia tahu bahwa tidak masalah bagiku mengantar putrinya pulang

"Eh maaf ya, Nak. Tante harus kebelakang mau mencuci," kata Tante Siti setelah meletakan gelas yang berisi minuman diatas meja

"Iya Tante, makasih," Aku kembali tersenyum dan tidak lupa menganggukan kepala

Saat sedang menikmati minuman yang dihidangkan oleh Tante Siti sambil mengamati ruang tamu rumah Vio, tiba-tiba sang bidadari itu datang kembali. Vio kala itu hanya menggunakan sebuah kaos dan celana panjang. Dia tidak lagi mengenakan kerudung seperti tadi. Rambut lurus sebahu miliknya pun terurai dengan sangat indah. Rambut lurus hitam itu sangatlah kontras dengan warna kulitnya yang putih mulus. Akan tetapi hal itu malah membuat kecantikan vio semakin betambah.

"Andi, Andi Osborn itu nama lengkapmu bukan?" Vio bertanya padaku sembari duduk dihadapanku

"Iya, terkejut aku Vi kamu mengingat namaku," jawabku sambil memandang wajahnya walau hanya sekilas. Namun, meski sekilas itu berhasil membuat otakku mengatakan bahwa Vio benar–benar sempurna.

"Hmph! Aku tu selalu ingat nama teman-temanku," jawab Vio dengan nada yang dibuat sombong khas dirinya.

"Cihh, nyatanya waktu itu kamu tidak kenal aku," Aku menyanggah apa yang Vio katakan.

"Kapan coba?" tanya Vio.

"Waktu temenku tanya kamu kenal sama Andi enggak."

Vio tiba-tiba berlagak seperti orang yang sedang mengingat ingat sesuatu. " Hehehe, maaf maaf, waktu itu ada alasannya kenapa aku menjawab tidak kenal denganmu. Gitu aja marah, Ndi," Vio mencoba membela diri dan membujukku agar tidak marah. " Eh Ndi, kalau kerja, di lab itu gajinya besar gak sih?" lanjut Vio.

"Kecil kok Vi, cuma UMR."

"Iya po, masa kecil sih? Kerjanya aja keren dan rata-rata yang kerja di sana biasanya orang- orang cerdas, masa gajinya cuma UMR," Vio heran.

"Loh kok gak percaya? Nyatanya aku aja cuma naik motor butut itu."

"Hmmmm," gumam Vio sambil mengangguk-angguk paham tapi tetap menunjukan ekspesi tidak yakin.

Yeah, kali itu aku berbohong lagi pada Vio tentang berapa gajiku dan juga kendaraanku, tetapi ini kulakukan untuk dapat melihat apakah Vio memang tulus untuk berteman denganku atau hanya karena harta. Sejenak kami terdiam, Vio sibuk dengan hpnya sementara aku memandang lurus ke depan sambil sesekali melirik wajah Vio yang begitu cantik.

"Emang kenapa, Vi?" tanyaku heran untuk memecah kebisuan.

"Dulu tu aku sebenarnya ingin jadi seorang laborat, tapi aku takut soalnya pelajaran kimia itu sulit," ekspresi wajah Vio berubah sedih.

Malam itu, 1 Juli pukul 19.15. Aku sudah berada di rumah Vio sekitar 1 jam, sudah banyak pula yang obrolan dan candaanku dengan Vio, aku pun bersiap-siap untuk pulang.

"Wah udah malem ini, Vi. Aku pulang dulu ya?"

"Kok buru-buru banget, Ndi. Baru jam segini juga," Jawab Vio sambil menunjuk kesebuah jam yang tergantung di dinding.

"Ini udah lama Vio."

"Ya lah, terserah kamu aja."

Treng tengtengteng ..., suara khas dari motor 2 tak yang sangat ikonik sehingga disukai oleh sebagian orang, namun juga dibenci oleh sebagian yang lain karena sangat berisik. Malam itu langit masih dengan hujannya meski tidak deras, Jogja masih dengan kemacetannya tapi hati ini tidaklah sepi dan kosong lagi.

"Hati–hati Andi, nanti kalau sudah sampai kabari ya!"

"Heleh paling seperti biasanya," ucapku dengan malas.

"Seperti biasanya?" Vio heran.

"Paling gak kamu bales seperti biasanya. Hehehe," jawabku sambil menarik tuas gas.

"Enggak Ndi, nanti aku bales kok," dengan setengah berteriak vio mengatakan hal tersebut

"Iya iya, nanti aku kabari kalau dah sampai rumah."

Motor A100-ku pun melaju meninggalkan rumah kecil nan indah tersebut. Saat motor yang aku kendarai beranjak pergi samar-samar ku dengar suara, hati–hati, Ndi. Suara itu membuat mataku melihat spion untuk memastikan apa yang terjadi di belakang. Apa yang aku lihat di belakang membuat mataku benar–benar tidak percaya dengan apa yang terjadi. Di belakang terlihat Vio sedang melambaikan tangannya kepadaku.

Pukul 19.38 A100 yang aku kendarai sudah melaju cukup jauh meninggalkan rumah kecil nan indah tersebut dan hujan pun mulai mereda. Rumah yang dihuni oleh bidadari yang pernah menghiasi hatiku. A100-ku pun kupacu cukup kencang karena aku sudah ada di jalan raya sehingga suara motor yang keras tidak akan dipermasalahkan banyak orang.

"Bajingan. Kalau naik motor liat jalan tolol," kurang lebih seperti itulah umpatan yang tiba-tiba ditujukan padaku. Umpatan yang menurutku memang cocok untukku karena aku memang tidak bisa focus mengendarai sepeda motor. Ada sesuatu yang menggangu pikiranku kala itu, wajah bidadari itu selalu saja muncul di pikiranku. Supaya tidak terjadi kekacauan aku pun tidak menanggapi umpatan itu dan memilih untuk segera melanjutkan perjalanan. Setelah kurang lebih 15 menit di perjalanan akhirnya aku sampai di rumah.

Frame MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang