Lamunan

9 0 0
                                    

Pukul 20.30 aku hanya duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi hangat dan sepuntung rokok, tentunya waktu itu aku sudah mandi dan makan malam. Malam itu tidak seperti malam pada biasanya. Biasanya jam segitu aku sudah di atas Godzila dari Jepang. Sebuah panggilan untuk Nissan GTR-R 34 yang selalu kukendarai jika pergi ke lintasan balap. Godzila..., panggilan yang sangat cocok untuk mobil tersebut, mobil yang memiliki daya 250 hp dan kecepatan maksimum diatas 240 km/h jika dalam kondisi standar. Hujan yang mengguyur bumi pada sore hari juga sudah hilang entah kemana. Namun, malam itu bulan tetap enggan muncul untuk menunjukan semburat warnanya yang begitu mempesona.

Gadis yang baru saja kujumpailah yang membuat malam itu sangat berbeda. Gadis yang membuatku hanya duduk di sofa sambil melamun. Ya melamun, membayangkan.....

Suatu hari aku kembali kerumah kecil nan indah tersebut. Aku kembali ke sana untuk mengajak bidadari dari surga itu pergi main untuk mengisi waktu libur. Pacitan, itulah kota yang akan kami kunjungi. Treng tengtengteng...., kurang lebih seperti itulah suara yang keluar dari knalpot cream pie milikku. Motor yang aku kendarai saat itu tidak lagi A100, tapi Ninja 15 R. Pukul 07.30, motor biru yang kukendarai sudah berhenti di depan rumah kecil nan indah untuk menjemput sang bidadari.

"Selamat pagi, Om," sapaku kepada seorang laki-laki setengah baya yang ada di depan rumah Vio untuk mengawali pembicaraan setelah aku memarkir motor.

"Selamat pagi, e-eh Andi to?"

"Iya. Vio ada, Om?"

"Ada, sebentar saya panggilkan," laki-laki itu pun berlalu masuk ke dalam rumah.

Laki–laki setengah baya itu adalah Om Yadi. Dia adalah bapak dari sang bidadari. Umur 48 tahun. Badannya tinggi, tegap, dan kulitnya hitam khas tentara. Desas-desus yang aku dengar, dia adalah tentara yang cukup hebat dan sangat disiplin.

Sambil menunggu Om Yadi memanggil anak gadisnya, aku duduk di kursi depan rumah Vio. Aku lalu menyalakan sebatang rokok sambil menikmati suasana desa yang masih sangat asri. Suara kok ayam mengiringi aku menghisap rokokku.

"Eh, Ndi. Itu motor siapa sih?" tanya Vio heran. Namun, itu adalah hal yang wajar karena motor yang aku bawa beda dari biasanya.

"Motor temanku? Emang kenapa?" tanyaku balik dengan heran. Aku agak terkejut juga waktu itu karena tiba–tiba mendengar suara Vio.

"Oalah, gak papa kok" Vio menjawab dengan santai kemudian mulai naik ke atas motorku.

Trengtengtengteng ..., motor biru yang aku bawa pun melaju dengan cepat meninggalkan rumah kecil itu. Kami pergi ke Pacitan melewati Wonosari. Aku memilh jalan itu karena itu merupakan jalan terdekat untuk sampai di Pacitan, belum lagi jalannya masih cukup sepi sehingga aku dapat memacu motor biru itu dengan cukup kencang. Saat dalam perjalanan kami banyak mengobrol dan bercanda tentang banyak hal. Mulai dari bagaimana dosennya mengajar, pekerjaanku, hingga kebiasaan saat bangun tidur.

Ketika masuk jalan yang masih sepi aku pun mulai memacu motorku degan kecepatan yang cukup tinggi, tikungan demi tikungan kulibas dengan kecepatan di atas 60 km/jam. Vio waktu itu tidak protes sedikitpun, hanya saja pegangannya terasa semakin erat di pinggangku. Tak lama kemudian tiba–tiba saja ada sebuah motor 4 tak dengan mesin 250 cc yang mendahului kami di tikungan. Entah kenapa aku saat itu merasa diprovokasi sehingga gas motorku pun kubuka dengan cepat. Motor ninja yang kukendarai langsung open kips saat itu sehingga motor sempat mengalami wheellie. Kami pun silih berganti saling mendahului saat itu. Ketika di tikungan motor 4 tak itu selalu bisa melibas dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada aku. Sebenarnya aku juga ingin melibas tikungan dengan kecepatan yang sangat tinggi, tapi ukuran ban-ku tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Namun, ketika di jalan yang lurus beda lagi ceritanya, aku selalu bisa mengkudeta posisi pertama karena akselerasi motorku begitu mengagumkan.

Saat itu aku tidak ingat bahwa aku sedang membawa Vio sehingga ketika keluar dari tikungan terakhir aku langsung memacu motorku dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ketika speedometer menunjuk ke angka 160 tiba–tiba saja ada yang memelukku dengan erat. Seketika gas aku tutup dan mulai menekan rem. Aku menoleh ke belakang saat kecepatan motorku berapa pada angka 60 km/jam.

"Ndi, jangan kenceng–kenceng. Aku takut banget," Vio masih memelukku dengan erat.

"E..mm maaf ,Vi. Ini dah gak kenceng lagi kok."

Vio pun melepas pelukkanya. Namun, tiba–tiba saja motor yang tadi terlibat kejar–kejaran denganku mendahului dengan kecepatan tinggi. Mungkin karena keget, Vio kembali memelukku dengan erat, "Gausah dikejar, Ndi. Aku takut."

" Iya Vi. Santai aja."

Pukul09.45 kami telah sampai di sebuah pantai di Pacitan. Pantai Srau namanya,sebuah pantai yang besar nan indah. Pantai yang indah tersebut terbagi menjadi2 bagian, yaitu ; bagian barat dan bagian timur. Bagian barat merupakan bagianPantai Srau yang cukup luas, di sana terdapat pasir putih yang banyak dan ombakyang cukup besar khas pantai selatan sehingga cocok untuk yang suka bermainombak. Sementara itu, untuk bagian timurnya terdapat sebuah batu karang yangbesar sehingga menghalangi ombak untuk sampai daratan. Hal yang membuat indahbagian timur begitu indah adalah adanya lubang di batu karang yang membuat airtetap bisa sampai daratan. Pantai itu sendiri masih sangat asri dan sepi karenamemang belum terlalu terkenal.

Sebelum bermain air, aku dan Vio menyempatkan diri untuk berfoto–foto terlebih dahulu. Bahagia, itulah yang hal yang kurasa. Salah satu pose yang sangat kukenang adalah saat aku menggendong Vio, dan saat aku merangkul pinggangnya. Saat itu aku merasa sangat intim sekali karena tubuh kami menempel dan wajah kami begitu dekat. Belum lagi suasana pantai yang tenang membuat suasana semakin romantis dan hatiku semakin senang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Frame MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang