6

624 47 9
                                    

"Emang lo udah berapa kali pacaran, Git?"

"Sekali," jawabnya. "Eli itu cewe pertama yang pas liat dia gua ngerasa, 'ini yang gua cari.'" Gito membuka kaca helm dan mengurangi kecepatan motornya agar Chika bisa mendengar jawabannya.

"Emang bisa gitu, ya?" Chika sedikit memajukan kepalanya pada bahu Gito. "Terus sekarang lo masih ngerasa gitu gak?"

"Masih sih. Sebenernya wajar kalau emang ada ribut-ribut kecil, namanya juga pendewasaan. Tapi ya kalau Eli mau ngambil waktu buat berpikir dulu, gua gak bakalan marah. Kalau emang dia buat gua, mau gua di Kutub Utara, dia di Kutub Selatan juga akhirnya tetep ketemu lagi. Perasaannya bakalan sama lagi, tapi dengan pola pikir yang berbeda."

Chika bertepuk tangan mendengar penjelasan Gito. Dia tidak menyangka lelaki yang biasanya hanya menggoda dia ini ternyata punya pemikiran sejauh itu. "Gila, gila. Untung gua nolak lo ya. Jadi cita-cita lo buat balikan lagi sama Eli bisa terkabul."

"Sialan. Seneng banget lo abis nolak gua." Gito melirik kaca spionnya dan melihat Chika tengah tersenyum. Akhirnya dia bisa membuat Chika tidak lagi menekuk wajahnya. Selama latihan basket tadi Gito memperhatikan Chika berkali-kali kehilangan fokus dan menghembuskan napas kesal seolah banyak hal yang mengganggu mood-nya.

"Suatu kehormatan menjadi salah satu perempuan yang bisa menolak pesona Gito," ucap Chika yang lalu tertawa. "Git, gua pengen beli es krim dulu di depan situ. Enak nih abis panas-panasan makan es krim."

"Buat pacar bohongannya gua, apa sih yang enggak."

"Ih, Gito!" Chika memukul punggung Gito, tetapi lelaki itu hanya tersenyum melihat wajah kesal Chika yang menggemaskan sambil membelokkan motornya di depan sebuah toko es krim. Toko ini memang salah satu tempat di mana banyak anak sekolah dan mahasiswa berkumpul.

"Emang lo gak pernah ngerasain jatuh cinta?" tanya Gito pada saat mereka baru saja masuk ke dalam toko yang berbentuk layaknya kafe. Begitu melihat Chika dan Gito datang bersama, terlihat beberapa siswi—dari sekolah yang sama dengan Chika dan Gito—saling berbisik. Tapi mereka berdua sudah tidak ingin mempedulikan hal itu.

Chika sedaritadi hanya diam sambil berpikir. Sebenarnya pertanyaan Gito cukup sederhana, tapi dia nampak bingung harus menjawab bagaimana. "Kayanya sih pernah."

"Kok kayanya?" Gito mengerenyitkan dahi. "Karamel satu ya, Mbak," ucapnya pada pelayan toko.

Chika nampak memilih es krim yang dipajang di etalase. "Satu lagi cookies and cream. Dibungkusnya pisah ya, Mbak," putusnya. "Karena gua belum mastiin kayanya."

"Gua kenal?" Gito mengeluarkan dompet dari saku. "Biar gua yang traktir kali ini," ucapnya sambil membayar es krim mereka.

Chika menggelengkan kepala. "Bukan. Dia gak sekolah di tempat kita. Makasih ya traktirannya."

"Terus?"

"Dia guru privat gua. Udah kuliah," jawab Chika sambil mengambil bungkusan es krim miliknya.

"Chika," panggil seseorang yang langsung membuat Chika mematung. Dia kenal betul suara lelaki itu.

Chika menoleh dan mendapatkan Sammy sedang berjalan bersama seorang perempuan dari arah lantai dua. "Eh, Mas Sammy," balasnya sambil tersenyum lebar untuk menutup rasa tegangnya.

"Kamu baru pulang sekolah?" Senyum manis terlukis di wajah Sammy. Sepertinya lelaki itu senang bisa bertemu dengan Chika.

"Iya, tadi ada latihan basket," jawab Chika sambil melirik Gito yang menatapnya heran. "Ini temen basket aku, Mas. Gito, ini Mas Sammy, guru privat gua."

17 Years OldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang