"Tidak ada yang patah hati atas kepulanganmu?"Marwa tersenyum. "Banyak, Yah." pelukan sang ayah adalah yang terbaik, apalagi bagi anak pertama.
Kemudian, Marwa menyambut ibunya yang baru saja keluar dengan mukena. Tasbih zikir masih mengalungi jemarinya
"Bidadarinya Ayah." canda Marwa melebarkan senyum Marsya Gallio Diraja.
"Rambutnya Kak. Harus seperti itu?"
"Nggak cantik ya?"
"Ibu jadi ingat ekor kuda di Swiss. Kan Yah?" Marsya menyindir putrinya. Bukannya marah, Marwa malah membalas dengan candaan.
"Iyalah yang mau anak gadisnya berhijab. Ni lagi nunggu hidayah."
Akan dimulai sebuah ceramah jika saja Marwa tidak disapa oleh dua adiknya yang baru saja tiba.
"Keren. Kelihatan benar orang bermerek." celetukan Rumaisya menciptakan tawa. Gadis berusia 21 tahun itu masih mengenakan seragam dengan simbol tempat pengajiannya.
Mendengar kalimat Rumaisya, mau tidak mau Dewa tersenyum.
"Kak Wafiq mana?" tanya Dewa menyadari sosok anak gadis keduanya tidak kelihatan.
"Jalan kaki bareng ustdzah Rihan." Salwa yang menjawab.
Hari ini ibu suri rumah tangga itu bahagia, karena semua anaknya telah berkumpul. Belum tentu setahun sekali Marwa pulang, dan Marsya dan Dewa tidak memaksa. Akhir dari kesabaran keduanya, tanpa pernah meminta pada putri sulung mereka, Marwa mengabarkan akan menekuni profesinya di tanah air.
Di antara keempat anaknya, Marwa-lah yang menempuh pendidikan jauh dari orang tuanya. Alasannya cukup logis saat itu. Marsya berpikir hanya belajar nyatanya, lulus kuliah Marwa mengabarkan akan bekerja di negara itu juga.
Syukurnya, sekarang Marwa telah kembali. Kembali bersama mereka. Yang dibutuhkan di masa tua adalah kesehatan dan kebahagiaan bersama keluarga.
Sedang asyik melihat kado dari Marwa, terdengar salam dari seorang gadis.
Marwa yang pertama kali melihat dan cukup intens melihat busana yang dikenakan Wafiq.
Senyum khas Wafiq disukai Dewa. Tidak terlalu sumringah tapi cukup teduh untuk dipandang. Anak keduanya memiliki kulit yang tidak begitu putih seperti ketiga anaknya yang lain, tapi tidak kalah manis dengan yang lainnya.
Usai mencium tangan kedua orang tuanya, Wafiq mencium tangan Marwa. Tidak ada yang aneh dari cara Wafiq melihat Marwa. Tidak dengan kakaknya. Karena tidak tahan, Marwa bertanya dan cukup membuat kedua orang tuanya canggung.
"Sejak kapan mengenakan benda itu?"
Dewa dan Marsya saling berpandangan.
Setiap masuk ke rumah, Wafiq menurunkan benda yang menutupi wajahnya. Tidak sulit mengenali benda yang sedang nge-trend di kalangan muslimah Asia saat ini. Tapi, Marwa tidak melihat alis yang dibentuk juga pewarna di kelopak mata Wafiq.
Baik Marsya dan Dewa tidak memaksa anak-anaknya memakai cadar terkecuali hijab. Berlaku untuk semua. Dikarenakan sejak SMA Marwa sudah tinggal di Amsterdam, jadilah putri sulungnya sedikit berbeda.
"Sejak Wafiq tahu, jika Ayah tidak pantas merasakan panasnya api neraka."
Tidak ada yang salah dari kalimat Wafiq. Dan Marwa juga tidak mendengar kalimat menggurui di sana.
"Konsisten?"
"Insya Allah."
"Calon suaminya juga mendukung."
Kali ini, Marwa terdiam. Calon suami? Tidak ada raut kaget. Dewa cukup mengenal putri sulungnya itu.
"Ustadz Wirza, kamu mengenalnya." Marsya tidak perlu menjelaskan panjang lebar karena kabar itu sudah diberitahu pada Marwa. Perihal bingung, Marwa akan bisa menjawabnya tanpa perlu bertanya.
"Eum." sekali lagi, Marwa memperhatikan adiknya. Tingginya hampir sama dengan Wafiq. Meski tidak memiliki kulit yang sama, Marwa dan Wafiq hampir mirip jika dilihat dengan seksama.
Pakaian hitam, kerudung besar dengan warna se-nada. Tidak terlihat lekuk tubuh tapi bisa dibayangkan Marwa adiknya memiliki tubuh yang bagus.
Sederhana seorang Dewa bisa dilihat dari sikap Wafiq. Marwa tidak menampik hal tersebut. Itulah sebabnya memiliki banyak anak maka akan banyak karakter orang tua yang terlihat.
Keadaan tidak lagi canggung saat Marwa berpamitan ke kamarnya. Ia tidak lelah. Hanya kehabisan kata-kata karena sosok Wafiq mengusik ketenangannya.
"Maghrib jamaah ya." Marsya mengingatkan putrinya sebelum keluar dari kamar tersebut.
"Aku halangan." Marwa berkata jujur. Ia tidak harus repot mengikuti aturan keluarganya. Yang penting ia tidak membuat malu, sudah cukup.
Begitu ibunya keluar, Marwa duduk di depan cermin. Foto dirinya masih kecil bersama kedua orang tuanya terletak di sisi kanan. Banyak kenangan masa kecilnya bersama ibu dan adik-adiknya. Sekarang mereka semua sudah besar. Bahkan Wafiq akan menikah.
Mengambil ponselnya, Marwa membuka aplikasi chat. Benar, ia menemukan voice note Marsya ketika mengabarkan tentang pertunangan Wafiq.
Diakui jika dirinya cukup sibuk. Karena ia hanya merespon voice note tersebut dengan kata ya dan selamat.
Melihat ke sekeliling, senyum Marwa terbit. Kamarnya telah banyak berubah. Mulai warna cat hingga furniture. Orang tuanya memang sudah menunggu kepulangannya.
Dulu ia pernah mengatakan pada ibunya, jika suatu hari ada seorang laki-laki seperti ayah datang, maka ia akan menikah dan akan tinggal di rumah ibu selamanya. mengingat hal itu, Marwa sadar jika dirinya kini sudah dewasa.
Menikah, belum ada di pikirannya. Biarlah Wafiq mendahuluinya. Perkara jodoh bukan kehendak manusia. Tuhan sudah mengatur semuanya.
Sudah sampai?
Pesan masuk dari seseorang menembus kerinduan. Jarak mereka sudah dipisahkan jutaan mil, tak ada lagi kisah buram itu.
Air mata Marwa jatuh. Hanya setitik karena logikanya bekerja keras menghalangi rasa yang sudah memiliki ujung.
Jaga diri baik-baik.
Marwa mengangguk, membaca isi pesan tersebut.
Jika dipertemukan kembali, aku tidak ingin menyesal.
Tidak ingin mengartikan kalimat itu, Marwa mematikan ponselnya. Ia akan mengganti semuanya. Ia kembali untuk hidup yang baru. Sapaan rindu itu, cukup sampai di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMA AKU AJA
Science Fiction🌹 🌹 🌹 🌹 Oya. Cerita ini aku private! So, yang mau baca, bisa follow terlebih dahulu 😄 Muachhhh...