Kesunyian kadang kala membuat manusia bisa berpikir lebih jernih. Dan, ketika keadaan tenang seperti ini banyak keputusan tepat tercetus.
Namun, bagaimana jika sunyi yang di maksud dalam keadaan ini bukan kesungguhan artinya, melainkan sunyi dalam hingar isak tangis.
Isakan manusia tidak mampu meredam sepi yang mulai bernaung dalam rongga dada pria itu.
Bersamaan embusan angin, perlahan manusia meninggalkan tanah yang masih merah dan basah. Gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga mampu menahan langkah seorang pria.
Di saat semua sudah berbaur dengan kehidupan fana, dia masih menamaninya di sana. Meski, bukan menemani dalam arti yang sebenarnya.
Kehilangan...adalah suatu pembelajaran. Hakikat manusia untuk menyadari kepemilikan jiwa dan raga.
Ketika masa itu tiba...yang ditinggalkan merasa hampa. Karena sebagian hidupnya terenggut.
Dua orang pria, dengan setelan koko putih dan peci hitam masih setia berada di sana.
"Ikhlaskan..."
Pria itu menunduk. Air mata menjadi saksi bagaimana rasa kasihnya pada sosok wanita yang sudah menempati liang lahat.
"Bukankan langkah setelah pertemuan itu, perpisahan?"
Tepukan di bahu dirasakan pria yang masih duduk tepat di depan pusara.
"Dia..." pria itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya yang sudah tertelan. Bersama air mata yang tidak akan pernah kering untuk kepergian separuh nafasnya.
"Melihatmu seperti itu, dia pun tak akan bahagia. Kamu masih punya tanggung jawab, buktikan pada dia, meski raganya sudah tidak lagi di sampingmu."
"Dia juga membawa anak kami..."
Pria yang berdiri di belakang, memalingkan wajahnya. Ucapan itu terasa membekas dan sakit untuk diingat.
"Mereka akan menunggumu. Doakan, tempat terindah untuk mereka."
"Dia...bekerja dengan keras. Kewajibannya sebagai seorang istri harus diemban bersama tanggung jawab di perusahaan..."
Iya.
Dia sehebat itu.
Dia wanita hebat.
Wanita yang bisa mengendalikan keadaan serumit apapun.
Jiwanya sudah terdidik, sebelum membenamkan diri.
Pria itu...tahu.
"Saya, sangsi...apakah masih bisa berjalan tanpa diri-nya. Apa..."
"Kamu seorang pemimpin. Kendalikan dirimu, dia boleh pergi karena jalan takdirnya. Tapi...kamu. Tataplah ke depan. Jangan melangkahi takdir, apalagi menyalahkannya."
Pria itu meremat taburan bunga.
Benar.
Demi istri dan anaknya...
Ia harus bangkit.
Ciuman manis berselimut duka dan tertikam luka diberikan pada istrinya. Melalui nisan yang bertuliskan nama sang kekasih halalnya.
Cukup perih...melangkah sendiri, tanpa ada lagi yang mendampingi.
Kalau dulu...dia akan berbisik saat adzan subuh. Sekarang, dirinya akan terbangun sendiri.
Jika kemarin...tawanya terasa menyejukkan, kini air mata yang akan menemani kenangan yang sudah terukir itu.
Perlahan ia bangun...membenarkan letak kaca mata. Ia berdiri, seakan melakukan penghormatan yang tiada akhir pada wanita yang sedang mengandung anaknya.
Dalam hati ia berbisik.....
Sayang...
Aku bukan pergi.
Melainkan menyelesaikan kewajibanku.
Mulai saat ini, aku akan menunggu. Menunggu waktu untuk menimbun bersamamu.Kasihku...engkau sudah tahu. Karena setiap hari yang kudendangkan lafadz kasih padamu.
Sayang...
Baik-baik engkau di sana.
Bersama malaikat kecil kita.Aku akan menyusulmu...
Mungkin besok, atau lusa. Mungkin juga...
Ah...entahlah.
Yang pasti aku akan menyusulmu.
Dalam doaku...akan senantiasa menyebut namamu.
Sayang...
Ia tidak sanggup lagi. Dituntun pria yang tadi, masuk ke mobilnya.
Setelah mobil itu pergi...ia yang terpekur. Memaknai arti kehilangan yang baru saja dirasakan sahabatnya.
********
Kehilangan...
Sedahsyat itu, pengaruhnya? Atau hanya bagi mereka yang punya cinta?
Mungkin karena itu, banyak orang yang menyesali pertemuan. Tapi, siapa yang sanggup mengubah skenario Tuhan?
"Ibu balik besok."
"Lusa saja, Bu?"
Retno menggeleng. "Sudah tujuh hari. Nanti juga ke sini lagi."
Dewa menatap ibunya. Ada asa yang membuncah setiap memandang wajah ibunya.
"Sering-sering menghubungi ibu mertuamu."
Dewa menggangguk. Tanpa harus menghubungipun, ibu mertuanya akan bolak-balik ke rumahnya.
Matanya menyisir kamar yang beberapa hari ini ditempati ibunya.
Biasanya, kamar ini sering dikunjungi Marsya.
Namun, sekarang...
"Melamun lagi?"
Senyum diberikan Dewa pada ibunya. Menandakan dirinya lebih baik sekarang. Karena...
"Ibu ke depan dulu."
Dewa ikut bangkit dan mengikuti langkah ibunya. Bukan ke depan tapi ke kamarnya.
Kamar yang akhir-akhir ini, ingin sering ditempatinya.
Kamar yang melukiskan ratusan kenangan yang tidak akan dilupakannya.
Di kamar ini...ia meluahkan cinta dan rasanya. Sering ia melihat raut datar, senyum hingga tawa Marsya.
Kepedulian dan perhatian wanita itu sanggup mengalihkan rasa yang sudah terpendam selama dua tahun pada wanita lain.
Karena kasih Marsya terlalu hangat dan menentramkan jiwanya.
Ketika melihat pergerakan di atas ranjangnya. Dewa mendekat, dan duduk di sisi ranjang.
Matanya berbinar...
"Dedek, mau nyusu?"
💖💖💖💖
.....
Cerita lengkap di karyakarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMA AKU AJA
Science Fiction🌹 🌹 🌹 🌹 Oya. Cerita ini aku private! So, yang mau baca, bisa follow terlebih dahulu 😄 Muachhhh...