Keputusan anak sulung didukung sang suami, membuat Ratu harus menyaksikan konfrontasi putri bungsunya yang diluahkan padanya.
Dari tadi pagi, setelah Gallio memberitahu kabar pertunangan Dewa dan Marsya, Ayu menangis.
"Kenapa harus mba Marsya, Ma?"
Tangisan penuh luka Ayu menyayat hatinya.
Ayu tidak setegar Marsya, tapi ia memiliki hati yang lembut. Dan, menghadapi masalah ini, kelembutan hatinya tidak bisa diandalkan sama sekali.
"Kamu percaya sayang? Setiap yang datang pasti akan pergi. Termasuk dalam pacaran."
Ayu menggeleng, "Mana bisa begitu, Ma?" tangannya mengusap air mata yang tak mau berhenti. "Mas Dewa nggak pergi, tapi direbut mba Marsya!"
Ratu membenarkan ucapan Ayu. Tapi, cuma dalam hati, tidak mungkin ia tambah memanasi putrinya itu.
Keadaan Ayu sungguh prihatin. Ini sudah sore, sesuap nasi atau roti belum terjamah mulutnya.
Ia tidak butuh apa-apa.
Ia hanya ingin Dewa.
Kekasihnya, yang sudah dua tahun bersama.
Sementara lelaki yang sedang ditungguinya, tengah berada di kantor. Tepatnya di ruangannya.
Ia kedatangan tamu, yang tak lain adalah atasannya. Mungkin sebentar lagi, akan menjadi calon istri.
"Saya hanya ingin memastikan. Calon CEO Merc Company bisa profesional."
Alis Dewa terangkat, meski tak terlalu tinggi.
Apa maksud wanita ini?
"Ini undangan yang harus kamu sebar. Tidak banyak, hanya petinggi saja."
Marsya memperhatikan sekeliling.
Lumayan.
Ruangan Dewa, tidak terlalu eksentrik meski kental dengan gaya jerman.
Walpaper dinding bercorak daun kering, dan furniture yang ada dalam ruangannya terkesan sederhana dan tenang.
Merasa keperluannya sudah selesai, Marsya keluar tanpa permisi. Namun, ia berbalik dan melihat Dewa masih berdiri dengan posisi seperti tadi.
"Selesaikan semuanya dengan Ayu. Saya tidak mau dengar gosip murahan!"
Pintu tertutup, menandakan wanita itu sudah pergi. Dan, meninggalkan Dewa dengan kepalan tangannya.
Selesaikan semuanya?
Apa kabar Ayu?
Tanpa sadar, ponsel dalam genggamannya sudah terhubung dengan pemilik hatinya.
"Mas Dewa!"
Dewa memejamkan matanya, ketika mendengar suara tangis Ayu, meneriakkan namanya.
Kabar pertunangan yang akan dilaksanakan minggu depan, pasti sudah diketahui gadis itu.
"Mas mau ketemu, bisa?"
Setelah mendengar jawaban Ayu, Dewa mematikan ponselnya. Ia melihat arlojinya yang sudah menunjukkan angka empat sore.
Ia bergegas menuju caffe tempat mereka bertemu.
Dan, satu hal yang tidak ingin Dewa lihat sekarang adalah Marsya. Tapi, takdir seperti mulai bermain.
Dia terpaksa satu lift dengan wanita itu. Bisa saja, ia pilih lift lain seandainya hari masih siang, tapi ini sudah sore, dan dia sedang buru-buru.
Tidak ada yang bersuara, meski hanya elaan nafas. Marsya sibuk dengan ponselnya dan terlihat serius. Sedangkan, Dewa dengan pikirannya yang tengah mempersiapkan hatinya menanti dugaan lara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMA AKU AJA
Science Fiction🌹 🌹 🌹 🌹 Oya. Cerita ini aku private! So, yang mau baca, bisa follow terlebih dahulu 😄 Muachhhh...