10

29K 2.4K 147
                                    

"Aku mau bicara."

Dewa menghentikan langkahnya, ketika ia baru saja mencapai anak tangga terakhir, dan mendengar suara Ayu.

Ia berbalik dan melihat gadis itu, bediri di atas dengan jarak lima anak tangga, dengan mata bengkak dan jejak air mata di wajahnya.

"Ada apa?" tanya Dewa, melihat Ayu belum bergerak.

"Bisa kita bicara di balkon?"

Dewa ingin menolak, karena ia tidak ingin membuat kekacauan dengan memberi waktu untuk Ayu.

Antara dirinya dan gadis itu, sudah selesai.

Ia tidak ingin lagi menambah luka pada gadis itu. Pun, wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya saat ini.

Tapi, kakinya mengikuti langkah Ayu, yang sudah menuju ke balkon lantai dua.

Keheningan malam itu dihiasi gerak ranting dan daun pohon mangga yang berada di samping balkon. Langit pun, tak berbintang, hanya bulan yang mulai menyusup ke peraduannya.

Keduanya masih saling diam. Dewa berdiri di belakang Ayu. Memperhatikan punggung gadis yang pernah menjadi bagian dari hatinya, gadis yang ia tinggalkan demi menikahi sang kakak.

"Mas Dewa bahagia?"

Tangan Dewa membeku dalam saku celananya, mendengar pertanyaan Ayu.

"Kenapa Mas memilih mba Marsya, masih menjadi tanya untukku. Mendengar dari Papa, jelas aku tidak percaya. Tapi, aku juga tidak percaya kalau Mas menyimpan rasa pada mba Marsya."

Dewa mengamati pergerakan kecil yang dilakukan Ayu.

"Aku tahu Mas mencintaiku, tapi aku tidak percaya karena mendengar kehamilan mba Marsya secepat ini."

Dewa mengerti arah pembicaraan Ayu. Dirinya cukup dewasa untuk mengartikan kata-kata itu.

Namun, ia masih mengunci mulutnya. Ia perlu mendengarkan lebih dalam lagi, apa yang akan dikatakan Ayu.

"Kebersamaan kalian di Lampung, terlalu sakit untuk kusaksikan. Tidakkah Mas merasa bersalah?"

Sangat.

Aku bahkan malu, hanya untuk menatap wajahmu, Ayu.

"Bagaimana bisa Mas melakukan secepat itu? Apakah perasaan Mas, hanya sebatas itu?"

Dewa memikirkan, bagaimana cara menghubungkan kalimatnya dengan pikiran Ayu, agar mudah diterima gadis itu. Ia cukup tahu diri, untuk tidak melakukan pembelaan.

"Aku tahu mba Marsya. Dia bukan tipe wanita yang mudah jatuh cinta. Dia juga tidak menyertakan perasaan ketika menjalin hubungan. Apa..."

Tubuh Ayu berbalik, menatap lurus pria di depannya, yang sadari tadi diam tidak menanggapi ucapannya.

"...Mas mulai melihat mba Marsya?"

Tatapan keduanya beradu. Menyorot luka masing-masing dalam bentuk yang berbeda.

Luka yang hanya keduanya, yang tahu.

"Kamu akan mengalami fase ini, kamu akan tahu."

Ayu merasa tidak puas dengan jawaban Dewa.

"Kalau maksud Mas, aku juga akan melakukan itu tanpa cinta, Mas salah besar!"

Dewa kembali melihat air mata Ayu. Sedalam apakah luka yang ditorehkan pada wanita itu?

"Kecuali, salah satunya memiliki rasa." Ayu mengusap air yang mengalir di pipinya.

"Dan, bisakah aku menuduh Mas?"

 SAMA AKU AJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang