#8 Aislin Dan Bermalam

21 12 8
                                    

"Bagus! Ayo bermalam!" seruku masih mengelus Billie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bagus! Ayo bermalam!" seruku masih mengelus Billie.

"Kau gila?" balas Altha cepat. Sorotnya seperti biasa-tajam, dingin, pada intinya menyebalkan.

Aku hanya balas mengendikkan bahu.

Dama mengetuk meja girang. "Sepakat? Aku akan siapkan kamarnya."

"Tida-"

"Iya," potongku cepat bersamaan dengan senyuman lebar pada Dama. Aku beralih ke Altha, lalu memberi isyarat untuk ikut saja.

"Aislin, bagaimana jika kita mati karena bermalam di sini?" Altha mulai melontarkan kalimat bantahan.

"Berjalan berdua di gelapnya dunia asing, dengan sekeliling berisi makhluk asing, menurutku lebih bahaya." Baiklah, kita akan melakukan debat lagi.

"Benar. Lagipula, kegiatan makhluk yang aktif saat malam hari adalah melempar, memotong, menginjak, dan memutar-mutar," imbuh Billie. Mata jernihnya yang berwarna ruby menatap Altha. Suara Billie nyaring dan terkesan imut. Itu salah satu alasanku pingsan tadi.

Altha menatap langit dari balik jendela. Coklat kelabu. Ia mendesah gusar. Menatapku, kemudian menatap depan. Tidak ada bantahan, artinya setuju. Aku dan Billie saling pandang dan melontarkan senyum. Ah, aku baru pertama kali melihat seekor kucing tersenyum. Tidak buruk.

"Kalian tunggu di sini dulu," kata Dama yang sedari tadi menjadi penonton debat, "aku akan menyiapkan dahulu."

Aku mengangguk dengan senyum merekah. Setelah Dama pergi, aku menggoyangkan rumbai di taplak meja untuk di mainkan Billie. Billie tampak senang, ia berguling, loncat, dan berdiri. Saking imutnya, tak jarang aku mengelus di tengah dia berdiri. Sudut mataku mendapatkan Altha yang menatap ke arah aku dan Billie.

"Lin," ucap Billie.

"Hah?" balasku.

"Lin. Panggilan sayang dariku untuk majikanku." Billie berucap senang.

"Hahaha." Aku tertawa. "Tapi aku dan Altha akan bepergian terus. Bagaimana bisa jadi majikanmu?"

"Aku akan selalu ikut. Menemani Lin."

Aku tersenyum, kemudian mengambil Billie ke dalam pelukan. Mari pikirkan masalah berbeda dunia nanti.

"Ayo." Dama datang setelah aku tiga kali mengelus Billie.

Aku melepaskan Billie dan berdiri. Melirik Altha yang enggan, masih duduk. Aku tersenyum tipis, lalu menarik tangannya pelan tapi pasti. Ekspresinya, sih, menunjukkan kaget. Alisnya naik begitu.

Dama membawa kami ke ruangan yang sedari tadi tertutup tirai bermotif aneh. Udara seketika berubah ketika kami berpindah ruangan. Ada satu sofa panjang dan dua sofa tunggal berwarna coklat di tengah ruangan. Empat lampu memancarkan sinar kekuningan, bertengger di setiap sudut. Ada beberapa perabot lain, yang menurutku cocok di letakkan di ruang keluarga. Udara hangat, dan lampu kekuningan, memancarkan aura rumah yang penuh kebahagiaan. Wah, aku jadi teringat masa-masa bersama kekasihku.

Aku melirik Altha. Mengikuti pandangannya ke tangan kami yang masih bersatu. Buru-buru aku melepaskannya. Altha, 'kan, begitu. Kurang suka dengan kontak fisik. Tentunya, kecuali dengan orang yang sudah dekat. Eh, itu cuman tebakanku, sih.

Dama menggiring kami ke pintu kayu mahoni. Yang tadi belum kuperhatikan.

Dama membuka pintu, lalu mempersilakan kami masuk. Aku duluan masuk. Altha, 'kan, paranoid.

Billie berlarian mengelilingi ruangan berkasur satu dan satu jendela besar kotak, yang di bagi empat oleh dua kayu. Lampunya masih memancarkan warna yang sama-kekuningan.

Aku melangkah, dan alas kayu berbunyi krek. Aku semakin melaju. Menelisik tembok kayu yang rapih. Ini kamar tidur normal. Tidak ada yang aneh. Walau berbeda dunia, kamar tidur tetap sama.

"Hanya ada satu kamar?" tanya Altha memecah keheningan.

"Ah, iya. Aku hanya punya satu kamar. Aku pikir kalian tidak apa berbagi. Lagian, kalian saudara, bukan?"

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, lalu tertawa canggung. "Iya, sih. Haha."

"Kalau begitu, selamat malam." Dama langsung pergi keluar, menutup pintu, meninggalkan suara blam, dan kecanggungan.

"Aku bisa tidur di lantai."

"Oh? Ja-jangan. Eng ... kita bisa berbagi kasur." Sesuai perkiraan, Altha tentu tidak mau berbagi kasur dengan orang yang tidak dekat. Sekalipun itu saudara.

Aku meraih guling, kemudian meletakkannya di tengah kasur. "Ini pembatas kita. Aku yang bagain kanan, kamu kiri."

Altha hanya mengangguk. Semakin membuatku tak nyaman. Sejujurnya, aku benci keadaan seperti ini. Lagi-lagi, aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, dan Altha hanya diam. Sedangkan Billie terus berlari memutari ruangan.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit. Baiklah, ayo akhiri ini.

"Aku tidur duluan." Buru-buru aku menarik selimut, merebahkan badan, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut coklat tebal itu.

Aku merasakan ada sesuatu yang berada di atas kasur di bagian sebelah. Aku mengintip, itu Altha. Aku menyodorkan sebagian selimut, akan tetapi ia menolak. Dia hanya berbaring dengan posisi menyajikan punggungnya untukku. Kakinya di tekuk, dan tangannya di jadikan bantal di atas bantal.

Aku mengendikkan bahu. Kemudian berbalik juga. Kami saling bertolak belakang. Billie tiba-tiba datang dan tidur di depanku. Badannya ia buat bergelut menjadi bulat.

Harusnya sekarang aku sudah terlelap. Sepanjang hari begitu melelahkan. Sampai pingsan segala. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Membuat kelopak mata menolak untuk tertutup. Billie sudah tertidur.

"Altha," panggilku parau.

"Hem," balas Altha.

Oh, belum tidur juga.

"Jika tiba-tiba bulan menabrak bumi, apa yang akan kau lakukan?" Aku melontarkan pertanyaan acak.

"Aku sudah mati sebelum berpikir akan bertindak apa."

"Bagaimana jika seketika semuanya di makan air? Tidak ada daratan lagi. Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku sudah mati tersedak air sebelum berpikir akan bertindak apa."

"Bagaimana jika aku mati? Apa yang akan kau lakukan?"

Hening. Hanya ada suara Billie mendengkur.

Aku berbalik menatap Altha, yang ternyata, juga sudah berbalik ke hadapku. Ia sudah tertidur. Menutup mata. Bermain di alam mimpi.

Hah ... terserah, deh. Apa, sih, yang aku harapkan. Malah bagus Altha tidak menjawab. Aku berbalik memunggungi Altha.

 Aku berbalik memunggungi Altha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Regalo (Tamat) (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang