Altharrazra itu tampan. Apa lagi jika kedua tangan dan kakinya di rantai seperti saat ini. Jangan lupakan ekspresinya yang sangat mendalami-alias pingsan.
Selain tampan, Altha juga sedikit bodoh. Sudah aku teriaki jangan terhasut, eh, dia malah terhasut. Sekarang, 'kan, masalahnya membesar.
Di balik tembok kasat mata, ada dua monster yang sepertinya terbuat dari tanah-ada beberapa daun nyasar di badannya-yang ukurannya dua kali lipat tubuh Altha. Mereka menangkap Altha, memukul kepalanya, dan mengikatnya.
Aku mondar-mandir frustasi. Mencari-cari apa yang harus kulakukan. Kedua monster itu tidak bisa melihat apa yang di balik tembok kasat mata-jadi aku bebas mengolok-olok kedua makhluk dari tanah itu. Billie mengikuti setiap langkah frustasiku.
"Lin, aku punya ide," ujar Billie menghentikan langkahku.
"Apa?" Aku menatap intens kucing berbulu putih itu.
"Aku akan memanggil temanku, dan menyuruhnya berbicara dengan kedua makhluk itu. Sementara perhatiannya teralih, kita membebaskan Altharrazra," jelas Billie.
Mataku berbinar. "Woah, Billie, kau memang terbaik!" Aku memeluk Billie.
Billie mendongak menatapku. "Lin, kenapa kamu tidak menggunakan tongkat dari Dama?"
Aku menggigit bibir. "A-aku ... takut." Aku cengengesan canggung.
"Takut?" beo Billie.
"Aku ... takut jika tidak ada Altha. Walau Altha hanya berjalan di sebelahku, dia seperti perisai pelindung bagiku."
"Perisai pelindung?" beo Billie lagi.
"Haha, iya. Jadi ketika ada bahaya, aku tinggal menjadikan Altha tumbal." Aku dan Billie tertawa renyah. Hei, suara kucing tertawa tidak buruk.
• • • •
"Tuan."
"HUA!" jeritku sontak memandang ke sumber suara.
Harimau kuning putih berdiri tegap di belakangku. Ia memberi hormat pada Billie. Lalu mereka berbincang dengan bahasa hewan?
"Lin, sudah siap." Billie tersenyum.
Aku di buat melongo ketika menyaksikan harimau itu berubah menjadi makhluk tanah seperti yang membuat Altha pingsan. Mata hitam kecilnya melirikku sekilas, lalu menembus tembok kasat mata.
Mereka berbincang, tampaknya tidak ada masalah. Teman Billie itu merangkul kedua makhluk tanah itu, dan Billie langsung menuntunku menembus tembok kasat mata.
Semerbak wangi tanah menyerbu ketika aku menembus dinding kasat mata. Aku dan Billie mengendap-endap, menahan napas takut ketahuan.
Aku menyentuh pipi Altha yang terkulai lemah. Aku mencoel, tidak ada reaksi. Aku memberi isyarat pada Billie untuk menggigit tali yang mengikat Altha.
Mataku was-was. Berharap teman Billie bisa menahan kedua makhluk itu lebih lama. Entah kenapa, napasku ngos-ngosan. Padahal lari saja tidak.
"Roaar!" Auman keluar dari salah satu pelaku pingsannya Altha.
Dengan cepat aku melirik Billie, masih sisa satu tali lagi.
"ROAAR!" Berbarengan dengan auman itu, teman Billie di lempar sejauh sekitar dua meter.
"AAAAA." Tidak sengaja aku berteriak melihat pemandangan itu. Buru-buru aku menutup mulut, tapi terlambat.
"Bi-billie, sudah?" Kedua makhluk itu berjalan mendekat.
"Sebentar lagi, Lin."
"Sudah?" tanyaku bertepatan dengan jarak antara aku dan makhluk tanah itu satu meter.
"Lin, sudah."
Aku menyambar tangan Altha secepat mungkin. Persetan dengan dirinya yang belum sadar. Pokoknya kabur. Aku merasakan tanah yang bergetar. Melihat dari sudut mata, kedua makhluk itu berlari mengejar.
"LIN! SINI!" teriak Billie dari seberang.
Altha berat banget gila! Jika aku tidak memiliki beban menggaet Altha, aku pasti sudah sampai sekarang.
Ayo, Aislin. Sebentar lagi!
Bruk!
"Aakh." Aku terpeleset lumpur coklat.
Aku buru-buru mengusap wajah yang penuh dengan lumpur, dan menarik Altha.
"Aargh," erangku. Altha begitu berat.
Terlambat. Dua makhluk tanah itu sudah menjulang di depanku. Tangannya yang di hiasi daun mendekat ke penglihatan. Mendekat. Mendekat ... aku menutup mata, terlalu takut untuk mendongak.
Satu.
Dua.
Tiga.
Aku membuka mata super pelan, dan kaget setengah mati begitu mendapati Altha tidak dalam cengkraman. Aku menelisik, dan alangkah syoknya aku begitu mendapati Altha melayang dengan posisi duduk sila. Yang lebih mengagetkan lagi, dua makhluk tanah itu diam tak bisa bergerak seperti telah di sihir.
"Altha!" Tidak ada sahutan. "Altha!" seruku lagi.
Altha masih kunjung diam. Ia tak bergeming.
Satu.
Dua.
Tiga.
Deg!
Altha membuka matanya secara tiba-tiba. Tanpa aba-aba, dia mengayunkan tongkat dari Dama, lalu mengarahkan pada makhluk tanah yang tak bisa bergerak.
"AHAHAHAHAHAHA."
"GYAHAHAHAHAHAHA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Regalo (Tamat) (PROSES REVISI)
FantasiBerawal dari paket berisi lampu dan surat yang menjanjikan pesta kembang api tepat pada tengah malam, membawa dunia dalam mala petaka. Lampu tersebut mengeluarkan cahaya dan melahap siapa pun yang menatapnya. Kesedihan di mana-mana. Aislin kehilanga...