#16 Aislin Dan Jir

11 7 1
                                    

Oke, manusia memang egois. Sangat egois. Mereka sembarangan membuang sampah. Hanya ingin kesenangan sendiri, melupakan makhluk lain. Aku ... tak tau dampaknya sebesar ini. Maksudku—ini terlalu menyeramkan.

Aku takut saat melihat tumpukan sampah itu—air keruh tercemar—tapi, dadaku ikut menyesak. Peri yang menjaga sungai, hewan yang hidup di dalam sungai, hanya bisa menerima tanpa bisa marah, memberontak. Hanya bisa menggerutu, bersedih, tanpa bisa menyuruh manusia berhenti melakukan hal kotor seperti itu.

Untuk terakhir kalinya sebelum kami pergi, aku menatap peri itu. Dia sangat baik. Manusia seperti kami sudah merusak rumahnya, tetapi ia tetap bersedia membantu. Senyumnya berbeda dari yang tadi. Sekarang itu menjadi senyum manis yang tulus.

Sesuai dengan petunjuk Billie, kita harus keluar dari hutan dahulu. Langit sudah gelap. Suara hewan malam saling menyahut.

"Altha, kita ternyata jahat, ya," ujarku memecah hening, pandanganku lurus, membayangkan tumpukan sampah dari bumi.

"Kita?"

"Manusia," aku mendongak ke langit, "mungkin kita tidak secara langsung membuang sampah ke laut, tapi bisa saja sampah yang kita buang pada tempatnya, di buang ke laut oleh orang lain."

Aku dan Altha berhenti dan saling menatap. Aku menghela napas, lalu kami kembali berjalan dalam keheningan. Berkelana dalam pikiran masing-masing.

"Billie," panggilku agar kucing berbulu putih itu naik ke pelukanku. Udaranya dingin. Sekilas aku melirik Altha, dia kedinginan atau tidak, ya? Ah, biarkan saja. Mau kedinginan atau tidak bukan urusanku. Manusia yang kedinginan tidak akan mati, kan?

"Sebentar lagi kita sudah keluar hutan," kata Billie.

"Lalu selanjutnya kita ke mana?" balas Altha.

"Mencari jir."

"Jir?" tanyaku dan Altha bebarengan.

"Makhluk yang bisa membawa kita ke Ritum."

"Untuk apa kita mencari tumpangan lain? Bukankah kau bisa terbang? Bisa jadi tumpangan kita untuk ke Ritum, bukan?"

Sekilas aku melirik ekspresi Billie yang kesal—mungkin karena kata tumpangan—tetapi langsung ia rubah ekspresi itu, dan berkata, "aku tidak bisa berubah wujud di Ritum. Kekuatanku hilang."

"Jadi hanya sebagai kucing biasa?" Altha membalas.

"Iya."

"Tidak berguna," gumam Altha.

"HEI!" bentak aku dan Billie serempak.

"Kurang ajar!" delikku.

"Sangat!" imbuh Billie.

Tatapan aku dan Billie yang setajam pedang menatap Altha beberapa saat, lalu berpaling dengan pelototan sebagai bentuk pamit.

Hewan malam tidak pernah berhenti saling bersahut sepanjang kami menyusuri. Terkadang saat daun menari pelan aku mengeluarkan imajinasi seram seperti: tiba-tiba ada hantu tanpa kepala, hantu berwajah gigi menyeramkan seperti yang di miliki peri baik tadi.

Aku bernapas lega saat kami sudah keluar hutan. Aku melepaskan Billie dari dekapan.

"Lin, Altha, silakan duduk bersila."

"Bersila? Di tanah?" beoku.

Billie mengangguk sebagai balasan.

"Ini bukan balasan karena tadi aku mengejek kau, kan?" selidik Altha.

"Syukurlah kau sadar perkataanmu tadi adalah ejekan," balas Billie.

Aku langsung duduk bersila. "Hentikan. Aku ngantuk, ayo cepat lakukan yang di suruh Billie," ujarku pada Altha.

Dengan wajah menyebalkan Altha akhirnya duduk bersila. Billie mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri seperti kucing yang tiba-tiba mati—meninggal maksudnya.

"Billie." Aku langsung menyentuh kucing putih itu.

"Kalian pejamkan mata. Jangan membuka jika belum di suruh. Apa pun yang terjadi, jangan membuka mata jika belum kusuruh." Billie langsung menutup matanya.

Aku mengerutkan dahi sambil menatap Altha. Dengan cepat aku langsung menutup mata.

Angin berhembus pelan, menyajikan sensasi dingin di tengkuk. Aroma permen menyeruak. Walau memejam, aku merasakan seperti badanku sedang berputar-putar di dalam tempat yang tidak memiliki gravitasi. Suara kecil langkah kaki mendekat. Semakin mendekat, semakin besar pula suara langkah kaki itu. Saking beratnya, aku merasa takut. Tanganku meraba samping tempat seharusnya ada Altha, tetapi hanya udara kosong yang kudapat.

Perasaanku takut. Aku merasa sendiri. Merasa seperti berada dalam tempat berbahaya, dan tidak bisa keluar. Langkah kaki itu berhenti tepat di belakangku. Aku merasa tanah kembali datang sebagai alas. Tiba-tiba tanah itu berguncang—gempa. Suara retakan tanah menjalar dari kejauhan menujuku.

Perasaan takut itu semakin menjadi. Aku seperti mangsa yang akan di lahap. Mangsa yang sudah tidak bisa melakukan perlawanan. Angin kencang tiba-tiba menerjang. Tiba-tiba juga semua berhenti. Tidak ada angin, suara retakan juga langkah kaki. Hening. Keheningan itu membuat bulu kuduk berdiri.

Selang beberapa saat, tanganku di sentuh. Apakah itu Altha? Dingin, kenyal. Atau Billie? Benda kenyal itu semakin melaju menyentuh tanganku. Itu bukan Altha atau Billie. Tidak mungkin mereka memiliki tangan panjang dan lembek, yang mampu melahap jariku sampai bahu.

Tidak berhenti pada bahu, sesuatu yang kenyal itu merayapi ke leher, dan kepala. Napasku sudah memburu karena takut. Sesuatu yang kenyal itu turun dari kepala ke pipi. Dingin. Ingin aku membuka mata dan melarikan diri, tetapi aku ingat perkataan Billie. Sesuatu itu berhenti pada pipi, tidak merayap ke bagian lain.

Seketika ulu hatiku sakit, seperti di tekan dengan sangat kuat. Tanganku mencengkram baju yang menutupi ulu hati. Sakit. Sesak. Sakit. Sakit sekali.

"Aaa," rintihku tertahan. Detik selanjutnya, rasa sakit itu menjadi, dan aku kehilangan kesadaran.


• • •

"Lin!"

"Aislin!"

Aku merasa ada yang menepuk pipi dan mengguncang tubuhku.

"Lin! Buka matamu!"

"Aislin! Bangun!"

Samar-samar aku mendengar dua suara yang akrab.

"Lin! Lin!"

"Aislin! Buka matamu!"

Ah, itu benar-benar suara mereka. Aku membuka mata perlahan. Hijau. Aku mengerjap pelan, hijau. Aku mengerjap lagi, mata kecil hitam. Aku mengucek mata, aku ingin pingsan saja. Makhuk hijau dengan mata kecil menyeringai, memenuhi frame penglihatanku.

Regalo (Tamat) (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang