#21 Altharrazra Dan Keajaiban

17 7 2
                                    

"Baiklah, aku akan menyelamatkan kekasihku sendiri," ucap Aislin seraya mengendong Bille dan melangkahkan kakinya keluar.

Mengabaikan Aislin yang berjalan keluar, aku berbalik dan berjalan mendekat Prof. Rov. "Kau bisa memberikanku jalan ke sana?"

Prof. Rov tersenyum. Tangannya terulur untuk menyentuh—tepatnya menyentil pelan keningku. Otakku seakan dihantam oleh berbagai macam ingatan baru. Aku memejamkan mata, menarik napas panjang dan berusaha menetralkan detak jantungku yang kelewat cepat.

"Ikuti saja instingmu, aku yakin kau akan berhasil."

Aku mengangguk kemudian berbalik menuju pintu. Instingku bilang untuk terus berjalan lurus dari pintu keluar. Akan tetapi ... bangunan perpustakaan ini 'kan berada di pulau terapung.

Aku sampai di ujung pulau. Ragu-ragu aku mengintip ke bawah dan sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya daratan di bawah. Kuambil batu yang besarnya sekepalan tanganku dan melemparkannya ke bawah. 1 menit ... 3 menit ... bahkan setelah 10 menit, tidak ada bunyi yang menandakan batu itu mendarat di daratan.

Bagus, apa di sekitar sini ada Jir? Eh, tapi kalau pun ada, aku tidak bisa meminta tolong mereka karena tidak paham bahasanya. Argh, menyebalkan!

Aku bergerak untuk duduk—mencoba merenung untuk memikirkan cara turun—kemudian teringatlah aku mengenai eksistensi tongkat sihir yang Dama berikan. Aku kembali berdiri dan mengambil tongkat yang bersemayam di kantung celanaku itu.

"Hei, aku butuh bantuanmu lagi ...," lirihku sembari menatap dalam tongkat itu.

"Melompat saja, di bawah sana ada lautan," balas tongkat itu datar. "Paling nanti kau tenggelam."

"Woy!"

Tongkat itu terkekeh. "Aku serius, melompat saja. Kupastikan kau berjalan di atas air."

Aku meneguk salivaku dan mengambil napas dalam-dalam. Kedua kakiku mengambil dua langkah ke belakang sebelum akhirnya berlari dan terjun bebas dari pulau. Di bawah sana air, aku tidak akan langsung mati. Aku bisa berenang.

Sulit kupercaya! Aku menabrak air! Dalam posisi telungkup, aku bisa melihat ikan-ikan berenang di bawah air. Namun, tubuhku tidak tenggelam, Cuma basah. Aku segera bangkit dan berdiri. Gila, aku seperti superhero!

Aku kembali menajamkan insting dan melangkah ke sembarang arah. Ada sebuah pulau terapung kecil di atasku. Dan instingku bilang untuk pergi naik ke sana.

"Melompat, kubantu kau dari sini," ucap tongkatku yang masih berada di genggaman tanganku.

Aku menatap pulau itu dengan ragu-ragu. Kubawa tubuhku untuk berjongkok dan menendang air kuat-kuat sembari memejamkan mata—ya, aku melompat. Begitu merasakan kakiku berhasil mendapat, barulah aku membuka mata.

Pulau itu bahkan tidak sampai setengah dari Perpustakaan Radenwich. Yang membuatku terkejut, banyak sekali kacamata di tempat ini. Ada yang menggantung di pohon, ada yang terbang bagai burung, ada pula yang berserakan di rerumputan (inginnya kubilang tanah, tapi di sini adanya rerumputan).

"Hei, tongkat. Menurutmu kacamata yang Prof. Rov maksud itu yang mana?"

Tongkatku tidak menjawab. Mungkin dia kehabisan energi setelah kusuruh ini-itu. Baiklah, Altharrazra, mari ikuti instingmu.

Aku berjalan sambil menggenggam tongkatku. Boasanya tanganku menggandeng Aislin. Ah, iya, bagaimana kabar anak ceroboh itu? Apa dia sudah sampai Artau? Apa dia sudah menemukan kekasihnya? Apa dia ... baik-baik saja?

Entah kenapa aku merasakan forasat buruk. Ada baiknya aku cepat menemukan kacamata itu.

Ada satu kacamata terbang yang menarik perhatianku. Kacamata itu sudah retak, modelnya kuno, terbangnya lambat dan sudah nyaris hancur. Tapi dialah yang paling mencolok dibanding kacamata-kacamata lain yang terlihat mencolok.

Maka, aku berlari kecil dan berusaha menggapai kacamata itu. Namun ketika aku berhasil menyentuh kacamata itu, kacamata lain mendesis. Mereka ... mereka menyerangku! Aku segera menggenggam kacamata rusak itu dan tanpa basa-basi melompat ke bawah.

Kali ini aku tenggelam. Air langsung masuk ke lubang telinga dan hidungku. Aku mengerang dan air kembali masuk melalui mulutku yang terbuka. Kesadaranku mulai hilang. Akan tetapi dapat kulihat seseorang berenang mendekat. Ah, sekilas, dia mirip ikan. Eh, dia punya ekor!

"Oh, kasian sekali makhluk ini. Rov jahat sekali tidak memberikan sihir apapun padanya." Makhluk dengan tubuh atas menyerupai gadis dan bagian bawah berupa ekor itu terkekeh. Dia mendaratkan satu kecupan di keningku dan tau-tau aku sudah terbanting di lantai marmer Perpustakaan Radenwich.

Aku terbatuk, berusaha mengeluarkan sisa air dari dalam tubuhku yang sempat masuk. Kuhirup udara di sekitarku, mencoba menghilangkan sesak yang melanda dadaku. Begitu sudah lebih tenang, aku langsung ambruk. Napasku terengah-engah.

Prof. Rov berjongkok di sampingku. Dia menekan keningku sembari tersenyum. Rasa hangat dan tenang langsung mengalir ke tubuhku. Aku memejamkan mata, menikmati aliran energi yang Prof. Rov alirkan padaku.

Begitu jarinya menjauh dari keningku, aku membuka mata. "Terima kasih." Aku kemudian duduk dan menyerahkan kacamata itu padanya. Dia pun kemudian menyerahkan sebuah buku usang padaku. Buku itu tipis dan kotor.

"Sana, susul saudarimu."

***

Aku melihatnya, Aislin, tengah diserang oleh anak panah msiterius. Kenapa Bille hanya diam? Kenapa dia tidak menolong Aislin?! Kalau pun aku datang berlari ke sana, apa yang bisa kulakukan?

Kupandangi buku usang tapi ajaib itu dengan tatapan penuh harap. Buku itu berrhasil menteleportasikanku langsung ke tempat Aislin. Fokus Altharrazra, bayangkan saja portal dari buku itu.

Kubuka buku itu dan langsung memasukan tanganku ke portal di dalamnya. Kuperhatikan dari tempatku, aku berhasil menarik kerah belakang Aislin. Kutarik gadis yang kini terbaring lemah itu kemudian Aislin langsung muncul dari dalam buku.

Aku terduduk sambil mendekapnya. "Aislin! Aislin! Sadarlah!"

Kucabuti anak panah yang menacap di tubuhnya. Bagaimana cara menyembuhkan lukanya? Tongkat sihirku atau buku itu, tidak ada yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan! Bagaimana ini?!

Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kelua mataku. Aku tidak mau kehilangan seseorang lagi. Ayo, bangun, Aislin!

Sebuah keajaiban terjati ketika tanpa sengaja tongkatku, tongkat Aislin dan buku langka itu bertemu. Cahaya hangat langsung mengelilingi kami. Dan luka Aislin langsung sembuh begitu saja.

Aislin mengerang dalam dekapanku. "Al ... Altha?" panggilnya lemah.

Regalo (Tamat) (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang