#15 - Altharrazra dan Kenyataan

12 7 3
                                    

Aislin belakangan menjadi sinis. Tidak ada lagi Aislin ramah dan baik yang dulu bahkan sering menasehatiku macam-macam. Lihatlah, saudariku itu kini tengah memulai perdebatan dengan peri sialan di depanku.

"Lin punya banyak kepribadian, ya?"

Aku melirik Bille sekilas dan mengendikkan bahu. "Aku tidak sedekat itu dengannya sampai tau kepribadiannya."

Aku melangkah untuk berdiri di sisi Aislin. "Erm, ayo berangkat. Semakin cepat, semakin baik," ucapku cepat sebelum mereka memulai perdebatan lagi.

Kudengar dari peri itu kalau kami harus saling menggenggam kemudian memejamkan mata. Aku agak terkejut saat Aislin menyambar tanganku dan eh? Kok dingin?! Kulirik sekilas tatapan Aislin. Dia balas melirikku, masih dengan tatapan dingin dan sinis yang sama.

Hal ini membuatku curiga ... apa dia sedang dalam masa datang bulan?

Begitu memejamkan mata, satu-satunya yang kudapati hanyalah angin semilir yang berembus. Dapat kurasakan Aislin meremas tanganku dengan perasaan kesal. Kuabaikan itu dan memilih fokus.

Satu hal yang kupelajari dari kejadian kontrak sialan dengan tongkat itu adalah; fokus, sabar dan berkeinginan kuat.

Perlahan, buih-buih dan suara aliran air terdengar samar di telingaku. Penglihatanku yang semula hanya melihat kegelapan pun kini seakan ... masuk dalam air?

Rasanya begitu dingin. Nuansa biru langsung menyambut penglihatanku. Awalnya terasa agak sesak, tetapi lama-kelamaan, aku justru merasa sejuk. Rasanya seperti tengah menyelam. Makin lama, makin dalam. Lalu ... sebuah pemandangan yang tidak mengenakan menyambut penglihatanku.

Itu ....

Senggolan Aislin membawaku kembali ke realita. Syok, tentu saja. Kalian tidak akan percaya tentang apa yang kulihat di bawah sana. Kuteguk saliva dengan rasa gundah dan berkata, "A-ayo kita mulai."

Aislin menatapku dengan tatapan ada-apa-sih? Kuabaikan saudariku itu dan memilih untuk menceburkan diri ke dalam air. Aislin mengikutiku.

"Kau bisa melihatnya, bukan?"

Sontak, aku menoleh ke arah peri itu. Senyumannya manis--jika saja dia tidak menunjukkan deretan gigi menyeramkannya--tetapi matanya tidak dapat berbohong. Kilatan amarah dan kebencian terkandung dalam tatapannya.

Maka, segeralah kami menyelam. Aislin tampak takjub. Kami berenang mengikuti cahaya kunang-kunang yang menuntun kami. Aku sama sekali tidak berani menoleh ke bawah. Serius, pemandangan itu terlalu mengerikan.

Aislin menoleh ke sembarang arah, entah apa yang dilihatnya.

Awalnya, kupikir pemandangan yang kulihat hanyalah sihir dari peri kecil itu. Namun ....

BUM!

Aku secara refleks menarik Aislin dan mendekapnya. Apa itu? Apa itu? Apa itu?!

"Altha, kau ini apa-apaan?!" pekiknya dengan nada khawatir bercampur marah. Kuabaikan saja ocehannya dan memilih berenang menjauh secara perlahan.

Dengan seganjil keberanian yang kupunya, aku menoleh ke bawah. Napasku tercekik saat melihatnya.

Itu ... sampah manusia. Bukan hanya sampah; bangkai hewan, perabotan rumah tangga yang tak lagi utuh, mayat, bahkan ... senjata dan bom. Pemandangan di dasar sana begitu menjijikan. Airnya sudah bukan biru lagi, dengan kata lain telah tercemar.

Aislin berhasil membebaskan diri karena aku terlalu syok dengan pemandangan itu. Begitu dia menoleh, terbelalaklah dia. Dia membekap mulutnya sendiri, sepertinya mencoba menahan rasa mual yang menggelitik perutnya.

"Mutiara yang dimaksud peri itu ada di sana," ucap Bille seraya menunjuk ke dasar--tepatnya di tumpukan mayat yang berdekatan dengan tumpukan bom.

Aku terbelalak. "Kau bercanda?!" teriakku. Hebatnya, tidak ada air yang masuk ke dalam mulutku.

Bille, kucing sialan itu menggeleng lemah. "Kita bisa menggunakan tongkatmu Altha."

Aislin mengernyit. "Bukankah kekuatan tongkat itu hanya menggelitik?"

"Tongkat Altha berbeda," Bille diam sejenak sebelum melanjutkan, "minta tolong saja padanya Altha."

Agak enggan melakukannya, tetapi aku tetap mengambil tongkat yang bersemanyam di kantung celanaku. "Hei, muncul dan tolonglah kami!" kataku secara mengacungkan tongkat ke dasar lautan.

Hening. Bahkan setelah beberapa saat, tongkat itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Aku berdecak, "CEPAT MUNCUL IDIOT!"

"Altha, jangan memakinya! Panggillah dia dari hatimu!" ucap Aislin seraya memukul bahuku.

Lagi-lagi aku berdecak. Kutarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Hei ... aku butuh bantuanmu lagi. Bisa tolong muncul dan bantu kami?"

Suara kekehan keluar dari tongkatku. Aislin secara refleks memeluk tanganku yang tidak memegang tongkat. Asap menyerupai kabut keluar dari tongkatku, masih dengan suara kekehan yang sama. Dia kembali muncul, kali ini dengan seringai yang tercetak di wajah berkabutnya.

"Anda memanggil saya, Tuan?"

*****

Aku melempar Aislin keluar dari air. Kemudian, barulah aku dan Bille melompat keluar. Aku dan Aislin terbatuk dan mencoba mengeluarkan air yang menyelinap masuk. Kuberi kode pada Bille untik menyerahkan mutiara biru yang berhasil kami dapatkan dengan bayaran kemampuan bernapas dalam air kami.

Peri itu terbang rendah di depan kami. "Wuah, rupanya kalian masih hidup."

Aku menatapnya tajam. "Apa-apaan itu?"

Dia terkekeh dengan begitu mengerikan. "Seharusnya aku yang bertanya, apa-apaan kau? Ternyata benar apa kata legenda, manusia adalah makhluk yang tidak sadar diri!"

Aku tersentak. "Apa maksud—" Belum habis ucapanku, kumpulan kunang-kunang langsung mengerubungi kami, seakan memberi peringatan untuk tidak macam-macam.

"Sungai itu terhubung dengan lautan di Bumi kalau kalian mau tau." Peri itu menunjuk sungai bercahaya itu. "Dulunya, bagian dasar sungai itu dihuni oleh berbagai macam makhluk yang hidup damai. Namun, semuanya berubah semenjak ...."

Dia mengatupkan rahang. Kilatan emosi kembali menghiasi iris kelamnya. "Aku sebenarnya tidak sudi membantu manusia seperti kalian. Akan tetapi, aku tidak mau keseimbangan dunia hancur."

Peri itu terbang mendekatiku. Dia menyentuh pipiku dengan lembut dan berkata, "Pergilah ke Ritum. Kalian akan menemukan informasi lebih detail mengenai kejadian yang kalian pertanyaan. Satu-satunya yang dapat kuberitau pada kalian hanyalah: ada energi gelap yang mengelilingi Bumi. Aku tidak tau dari mana--tepatnya siapa yang menyebabkan bumi seperti itu. Namun, yang jelas, itu dapat menghancurkan keseimbangan dunia."

Kemudian dia terbang ke dekat Bille. Diambillah mutiara biru itu dan dia tersenyum. Kali ini senyumannya terasa berbeda.

"Kami ... akan berusaha untuk mengurangi sampah yang terbuang ke lautan," ucap Aislin tiba-tiba. "Maaf ...."

Peri itu menggeleng. "Bukan masalah. Sekarang cepatnya, sebelum aku mulai berencana untuk melakukan sesuatu pada kalian."

Kunang-kunang itu menjauh. Aku segera menarik Aislin menjauh dari sungai itu.

Samar-sama, kudengar peri itu bergumam, "Semoga belum terlambat."

Regalo (Tamat) (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang