Rindu Sendu.

10.1K 728 42
                                    

Dalam keheningan malam, Adra meratapi nasibnya dengan terus mengukir sebuah senyuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam keheningan malam, Adra meratapi nasibnya dengan terus mengukir sebuah senyuman. Dulu, kesedihan sudah pernah melanda. Dan ayah adalah obat penenang terbaik untuknya.

Kata ayah. "Hidup adalah suatu keharusan, hidup tanpa luka adalah pengkhianatan. Apapun yang terjadi, terus tersenyum ya, nak? Tuhan lebih tau mana yang terbaik buat kamu, sayang."

Tidak hanya itu, bulan juga membawa kenangan tersendiri untuk Adra. Adra ingat. Waktu itu Adra merengek kepada ayahnya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan ibu juga begitu. Kilas balik peristiwa itu melekat dalam hayat.

“Ibu, ayo bermain. Adra sangat bosan tau!”

Tanpa menoleh. “Adra, kesana. Ibu sedang memasak!”

Dengan muka cemberut, Adra beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih sangat sibuk berhadapan dengan kompor. Kaki mungil itu berjalan dengan sedikit menghentak menuju ruangan kerja ayahnya.

Dengan susah payah, tangan mungil itu berusaha meraih gagang pintu setinggi perut orang dewasa. Pintu terbuka secara perlahan. Seorang pria dewasa menoleh sekilas dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Hanya sekilas.

Seorang anak laki-laki cemberut melihat keberadaannya yang tidak dipedulikan oleh ayahnya.

“AYAH!” teriaknya.

Ayah menoleh sambil sedikit tertawa. Ayah sangat suka menggoda anak laki-lakinya. Adra itu cengeng kata ayah.

Ayah beranjak dari tempat duduknya. Melepaskan kacamata yang bertengger pada batang hidungnya dan berjalan mendekat menghampiri Adra yang sedang melipat kedua tangannya sambil menekuk kedua sudut bibirnya.

Ayah berjongkok, memposisikan tubuhnya dengan anaknya. “Adra kenapa, sayang?” tanyanya.

Adra masih saja diam.

Ayah tertawa geli dalam hati melihat anaknya yang sedang marah itu. Ayah mengusap halus rambut anaknya.
“Adra mau ayah peluk?”

Dengan sesenggukan, Adra menghambur memeluk tubuh ayahnya. Hancur sudah pertahanan Adra. “A-ayah jahat tidak mau berteman d-dengan Adra, Adra t-tidak punya teman!”

Ayah berdiri sambil masih memeluk tubuh Adra. Diusapnya punggung anaknya sambil berjalan menuju jendela untuk melihat bulan. “Adra, ayah minta maaf, ya? Adra kan tau kalau ayah sibuk. Nanti, kalau ada waktu luang, kita main, ya?”

Adra menggeleng. “Ayah selalu bilang seperti itu, tapi ayah sibuk terus, ayah tidak bermain dengan Adra!”

“Adra sedih ya? Hati Adra sakit, ya?”

Adra mengangguk.

Ayah menghembuskan nafasnya berat. “Ayah minta maaf. Ayah terlalu sibuk berkerja sampai ayah lupa kalau jagoan ayah ini sudah besar, dia sudah bisa mengajak ayah dan ibunya untuk bermain. Dia sudah paham arti kesepian.”

Ayah menurunkan Adra dari gendongan, mendudukannya pada meja kerja. Dilihatnya muka anaknya yang sudah sangat basah oleh air mata dan juga ingus. Ayah beranjak mengambil tisu, dengan perlahan dilapnya muka anaknya.

“Adra, besok kita ke pantai, ya?”

Bukannya menjawab, Adra justru mengacungkan jari kelingkingnya. Ayah sempat terdiam, kemudian menautkan jarinya pada jari mungil itu. “Iya, nak. Ayah janji!”

Adra turun dari meja dan meloncat-loncat kesenangan. Tidak lupa, Adra memeluk ayahnya untuk yang kesekian kalinya. “Terimakasih, ayah!”

Ayah tersenyum. Mengacak-acak rambut anaknya. “Sama-sama, nak. Ayo, Adra tidur sekarang, supaya besok pagi bisa bangun lebih cepat.”

Adra menganggukkan kepalanya. “Baiklah, SELAMAT MALAM AYAH!”

Ayah tersenyum. “Selamat malam, sayang!”

Maka dari itu, Adra sangat menyukai pantai dan lautan. Ayah selalu tahu apa solusi terbaik untuknya. Adra ingat, pada saat matahari kian menutup diri. Adra, ayah, dan ibu duduk bersama diatas sebuah kain dengan berbagai macam makanan ringan. Ayah dan ibu saling tertawa melempar canda, Adra sedang menikmati makanan ringan dengan beralaskan paha ibu sebagai bantal.

"Nak, manusia itu dinamis dan tidak abadi, ya? Adra harus paham itu. Nak, jika suatu saat ayah tidak lagi hidup. Adra jangan sampai meredup, ya?"

Ibu marah pada waktu itu. Adra paham. Siapa yang tidak marah jika orang tersayangnya tiba-tiba berbicara hal yang demikian?

Ayah mengelak. Ayah bilang. "Ayah hanya menerapkan sifat dasar manusia untuk Adra, sayang. Kita tidak pernah tau kedepannya akan seperti apa. Adra harus paham bahwa manusia bersifat dinamis dan tidak abadi."

Ibu menangis waktu itu. Ayah langsung membawa ibu dalam pelukannya. Adra tidak tahu apa-apa. Dia tidak paham pembicaraan orang dewasa. Tapi, Adra sangat ingat kalimat yang dilontarkan oleh ayahnya. Dan sekarang, di usia yang tidak seharusnya. Adra sudah memahami makna kalimat ayahnya.

"Adra sayang ibu sama ayah."
.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

11-09-23

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11-09-23

See u, teman-teman! Anw, aku nulis versi pdf nya juga. Karena menurutku di wattpad kurang rapi. Tapi, aku bakalan tetep update di wattpad. Walaupun bakalan beda sama yang versi pdf.

Susah bagi waktu coi :((

LAUTAN DAN JANJINYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang