Chapter 0 ini bisa dianggap sebagai prolog dulu, tapi kalau kalian langsung ingin baca chapter 1 silahkan!
-Author
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
16 tahun yang lalu,
Sebuah gempa membangunkanku di tengah malam.
Lemari pakaianku bergetar, dan cermin yang menempel di dindingku pecah menghantam lantai. Cahaya yang perih menusuk mataku dari balik jendelaku yang terbuka lebar. Aku berusaha menutup tirainya, tapi percuma saja, cahaya itu terlalu terang. Dari balik tirai itu, aku bahkan masih bisa melihat bentuk dari sumber cahaya itu.
Apa aku masih bermimpi?
Ini tidak nyata, kan?
Sebuah lingkaran melayang-layang di angkasa, berputar seperti sebuah cincin raksasa di langit malam. Benda itu hanya berputar di angkasa, dan bersinar dengan mengeluarkan cahaya yang begitu menyilaukan, seolah-olah matahari tiba-tiba bersinar terik di tengah malam.
Cincin bercahaya itu perlahan menurunkan ketinggiannya, dan baru di sinilah aku tahu seberapa besarnya benda itu. Bahkan bangunan tertinggi yang ada di kota ini—yaitu para gedung pencakar langit—tidak ada bandingannya dibanding diameter dari cincin itu. Semakin benda itu mendekati tanah, semakin terang cahayanya.
Lalu, hal teraneh terjadi. Cahaya-cahaya dari roda raksasa itu tiba-tiba menggumpal di beberapa titik mengelilingi cincin itu, dan gumpalan cahaya itu membentuk—entah, aku mungkin sedang mengalami mimpi tergilaku—tapi cahaya-cahaya itu berkumpul membentuk ratusan sayap yang mengepak di sekeliling cincin itu. Sayap-sayap itu berkeliling mengitari cincin itu, dan entah bagaimana, tapi aku bisa merasakan sayap-sayap itu sedang mengawasi orang-orang di sekitarnya. Seolah-olah tiap pasangan sayap itu mempunyai sepasang mata sendiri.
Sungguh, aku tidak bisa memercayai mataku. Aku mengepalkan tanganku dan berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengampuni segala dosaku, jika memang ini adalah hari kiamat.
Lalu, secara tiba-tiba, cincin raksasa dan ratusan sayap itu menghilang, meninggalkan sebuah gelombang yang dahsyat bergelora di udara.
Beberapa detik berlalu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku masih bingung tentang apa yang terjadi.
Itu halusinasi, kan?
Beberapa menit berlalu, aku mencoba mencari-cari suara lain, cahaya lain, atau apa pun yang bisa mengkonfirmasi pemandangan gila itu, tapi tidak ada suara yang muncul. Hanya bunyi jangkrik dan nyanyian burung hantu di malam hari. Di luar jendela, aku dapat melihat langit malam kini kembali berwarna hitam pekat.
Entah untuk berapa lama aku menghabiskan waktuku hanya menatap ke luar jendelaku, mencari-cari suara apa pun sampai akhirnya, aku mendengar suara gaduh lainnya.
Kali ini, aku yakin itu bukan halusinasi dari mimpiku. Suara itu berasal dari lantai dasar rumah, sepertinya di ruang tamu.
Perlahan, aku memberanikan diri untuk turun dari tempat tidur dengan niatan memeriksa suara apakah itu. Apa ayah sedang membenarkan sesuatu? Apa ibu baru pulang dari belanja? Apakah Mia, adik perempuanku, lagi-lagi terjatuh dari tangga? Tapi ini sudah tengah malam, jadi untuk apa mereka masih terbangun di jam segini?
Aku menuruni tangga dengan hati-hati, mengingat lampu di rumah sedang mati. Hanya ada cahaya lampu dari ruangan tengah yang menyinari seisi rumah ini. Di saat itulah aku mendengar suara dentuman itu lagi. Kini aku sudah begitu dekat dengan sumber suara itu, aku bisa merasakan getarannya di lantai yang dingin ini.
Di anak tangga terakhir, aku bisa mengintip sejenak ke ruangan tengah rumahku. Di tengah ruangan itu, seseorang duduk di atas sofa, bersembunyi di balik selimut. Dia memeluk badannya sendiri, dan badannya bergetar seolah-olah sedang menggigil kedinginan.
"Ayah? Ibu? Mia? Apa itu kamu?!" teriakku. Aku harap ini bukan sejenis lelucon yang sedang dia mainkan.
Lalu, getaran dari sosok itu berhenti.
Perlahan, selimut itu terbuka, dan sekarang aku bisa melihat wajah di balik kain itu, Mia sedang duduk terselungkup di balik selimut itu, menatapku dengan mata yang menyedihkan.
"Nick, aku kedinginan," ucap Mia padaku. Secara insting, aku berjalan mendekatinya. Dia baru berumur tujuh tahun, jadi wajarlah jika dia masih rentan terhadap perubahan suhu. Aku menghampirinya, lalu duduk di sampingnya.
"Kenapa kamu di sini, Mia?"
Adikku tidak menjawab, dia terus menggigil dan mendekap badannya sendiri di dalam selimutnya.
"Apa AC kamarmu terlalu dingin?" Tetesan keringat dingin bisa kutemukan merambat di wajahnya. Dia kemudian menatapku, masih dengan pandangan menyedihkan yang sama.
"Tidak, Nick. AC di kamarku mati," ucapnya.
"Tapi kamu kedinginan?" tanyaku kebingungan.
Memang betul, tangannya sudah sangat dingin. Aku memeluknya dengan erat, berusaha memberi sedikit kehangatan bagi adik kecilku ini.
"Aku ... kedinginan bukan dari udara di kamarku, tapi dari pintu depan," ucap Mia sambil memegang tanganku.
Tunggu dulu, bagaimana bisa dia kedinginan dari pintu depan?
Memangnya dia tidur di mana malam ini?
"Nick," ucap Mia mengkaburkan pemikiranku.
"Iya, Mia?"
Dia menatapku dalam-dalam, aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali dia memandangku seperti ini.
"Nick, kamu lupa mengunci pintu semalam," ucapnya masih dengan pandangan aneh itu.
"Oh? Iyakah? Apa kamu sudah menutupnya?"
Mia menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kamu tidak menu—"
"Nick," ucap Mia memotong kalimatku.
Aku awalnya sedikit terganggu dengan sikap itu. Mia memang kadang bisa jahil, tapi dia selalu dididik untuk bertingkah sopan. Dia tidak pernah memotong kalimat seseorang sebelumnya. Tapi aku membiarkannya saja, lagipula dia masih kecil.
"Iya, Mia? Ada apa lagi?"
Kembali lagi, dia menatapku dengan pandangan yang tak biasa. Sungguh aneh, seolah-olah dia baru pertama kali memandang mataku.
"Nick, kamu lupa mengunci pintu, dan sekarang aku kedinginan," ucapnya, "ayah kedinginan, dan ibu juga kedinginan."
"Apa kamu tidak ingin bergabung dengan kami, Nick?" Tiba-tiba dia tersenyum, entah dari mana.
Aku kebingungan, dan aku mulai takut. Apa maksudnya semua ini?
"Mia, jangan jahil di tengah malam seperti ini," ucapku dengan tegas.
"Kami sedang menunggumu di balik sofa ini, Nick," balasnya.
Akhirnya, campuran rasa tidak enak dan ketakutanku justru menambah rasa ingin tahuku. Aku memberanikan diri, dan perlahan menggerakkan kepalaku menghadap ke balik sofa itu. Mataku bergerak bagaikan sebuah kamera dalam mode rekaman lambat, namun jantungku berdetak begitu lincah.
Di balik sofa itu, aku melihat kolam warna merah kehitaman dan percikan-percikan berwarna yang sama, terciprat ke sekujur lantai. Bersandar di balik punggung sofa, aku menemukan ayah dan ibuku, duduk membelakangiku, memandang tembok yang juga telah ternodai darah. Keduanya telah mati, dan dari perut mereka mengalir cairan merah kental itu. Di samping mereka, tersungkur mayat lain yang menambah rasa ngeriku. Seorang perempuan kecil, berusia tidak lebih dari tujuh tahun, tergeletak begitu saja tanpa nyawa—Mia, adikku sendiri. Mayatnya tergeletak di sana. Sedangkan sosok dengan wajah dan ingatan miliknya sekarang tengah duduk di sampingku, memandangku dengan senyuman yang begitu bahagia.
"Bagaimana, Nick?" ucap sosok itu.
"Maukah bergabung dengan kami, Nick?"
"Akibatmu, kami semua kedinginan."
"Jadi, ayo ikutlah dengan kami, Nick. Ikutlah dingin bersama kami!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ghost of Tomorrow
Science Fiction**Sudah terbit di penerbit Ruang Karya-- Langsung chat author jika ingin membeli untuk mendukung author!** --------------------------------------------------------------------------------------------------- Nick Dyson ditugaskan untuk memburu dan me...