17. Research

1 0 0
                                    


"Selamat pagi Professor, mohon maaf mengganggu," ucap Nick di ambang pintu dari rumah megah itu.

"Tidak apa-apa kok, jangan terlalu sungkan," jawab Professor Lydia Kane yang berdiri di depan Nick masih dengan mengenakan gaun tidurnya. Rambutnya yang bergelombang memiliki semacam aura kemerahan yang menyelebunginya, seakan-akan menampilkan dahaga atas sesuatu yang tidak pernah puas.

"Silahkan masuk," ucap wanita itu sambil membuka pintu dengan lebar.

Nick menganggukkan kepalanya, lalu masuk dan kembali duduk di kursi yang sama dengan kemarin malam. Sang professor tidak langsung duduk di hadapannya. Dia melangkah ke arah dapur sambil membuka lemari kayunya untuk mencari sesuatu.

"Apa kamu sudah sarapan, Nick?" tanya wanita itu

"Sudah, Professor," jawab Nick. Perhatiannya diambil sejenak terhadap jendela kaca yang terpajang di rumah itu. Ukurannya tidak begitu besar, jelas kalah dari jendela apartemennya yang hampir seluas dindingnya sendiri, tapi yang menarik dari jendela rumah sang professor adalah warna yang terpoleskan di kacanya sendiri. Warna-warni yang membentuk mosaik abstrak, mengundang pemandangnya untuk mengartikan sendiri bentuk apa yang terangkai oleh pola-pola itu. Di luar jendela itu, sebuah taman penuh tanaman berbunga terlihat indah, seiring lebah dan kupu-kupu berkepak di tengah terangnya sinar matahari. Rumput-rumput hijau yang tinggi juga tumbuh di sana, seolah-olah taman itu terletak di tengah padang savannah yang luas, meniru desain alam yang amat indah.

"Apa yang sedang kamu pelototi, Nick?"

"Oh—" Nick terkejut. "Tidak, itu taman yang sangat indah," jawabnya sambil berusaha tersenyum ramah. Sang professor melirik ke arah jendelanya, melihat sejenak keindahan tamannya sendiri.

"Kamu mau berkunjung dulu ke sana?" tanya sang professor.

Nick menggelengkan kepalanya. Sebenarnya, dia sangat ingin mencoba mengunjungi taman itu. Tapi dia tidak memiliki waktu sebanyak itu. Mungkin lain kali saja.

Akhirnya, sang professor duduk di seberangnya. Dia meminum secangkir kopi yang masih hangat, uapnya saja masih berhembus dengan liar menghiasi cairan hitam itu.

"Kamu tahu? Aku kemarin membaca-baca kembali beberapa penelitian tentang anak hybrid itu— Layla kan namanya? Dia merupakan spesimen yang luar biasa," ucap Professor memulai pembicaraannya.

"Oh, iya, memang dia unik sekali," jawab Nick, "tapi dari mana kamu mendapat penelitian tentangnya?"

"Sebelum kantormu terkena ... musibah itu, Divisi Riset NBPD membagikan data-datanya dengan Redox Inc., itu sudah kebiasaan kami untuk berbagi," jawab Professor Lydia, "dari rangkaian DNA-nya, mereka menemukan bahwa Layla memiliki kemampuan untuk meniru makhluk lainnya, sama seperti ghost pada umumnya. Tapi uniknya, saat diberikan spesimen berupa sel manusia yang telah mati, dia tidak merespon. Tidak ada dampak apapun. Dia hanya terdiam dan memandangnya saja."

Tunggu, apa maksudnya? Berarti dia tidak bisa meniru orang mati seperti ghost lainnya?

"Tapi cukup dengan basa-basiku," ucap sang professor, "ada apa kamu datang kesini pagi-pagi seperti ini, Nick?".

Nick memikirkan sejenak jawabannya. Alasan sebenarnya datang kesini adalah untuk meminta informasi lebih detail mengenai kediaman keluarga Mist yang sempat dia sebutkan kemarin malam, tapi jika dia langsung menanyakan itu, Professor Lydia pasti akan curiga padanya. Dia harus memulai perbincangan ini dengan perlahan.

"Jadi begini, Professor. Anda tahu kan bahwa—"

"Tunggu. Tolong, jangan panggil aku 'Professor' dan 'Anda' jika kita tidak sedang dalam pertemuan yang resmi. Cukup panggil aku Lydia saja" ucap wanita itu memotong kalimat Nick

The Ghost of TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang