19. Hospital Room

2 0 0
                                    


Sebuah ruangan putih adalah tempatnya terbangun. Mulutnya terasa asam, dan badannya pegal-pegal dan perih.

"Oh, halo. Selamat siang, Nick!" Suara Professor Lydia menyapanya di samping kasurnya.

"Professor Lydia? Di mana ini?" tanya Nick sambil berusaha duduk di penyangga kasurnya.

"Nick, sabar, jangan duduk dulu. Penyembuhanmu cepat, tapi tidak secepat itu." Professor Lydia memegang pundaknya, menyuruhnya untuk kembali tidur.

"Nick, kamu sedang dirawat di Rumah Sakit Sentral Neo Batavia. Semua biaya pengobatanmu ditangg—"

"Apa? Rumah Sakit Sentral? Yang benar saja?! Aku tidak akan pernah bisa membayarnya! Kau tahu sendiri kan betapa mahalnya tempat ini?"

"Nick, aku belum selesai bicara ... semua biaya pengobatanmu ditanggung oleh Kepolisian Neo Batavia. Jadi, tidak perlu kuatir soal keuanganmu."

Sebuah napas penuh kelegaan keluar darinya. Untunglah, jika dia harus membayar semua biaya pengobatan dari rumah sakit elit ini, dia bisa kehilangan semua uang di banknya.

Teknologi di tempat ini memang canggih, sangat canggih, bahkan pasien luka tembak pun bisa disembuhkan dalam waktu kurang dari satu jam, itu sudah termasuk regenerasi jaringan otot dan saraf yang terluka. Oleh karena itulah, biayanya terkenal sangat mahal. Tapi, untuk luka seperti yang dialaminya sekarang, apa bisa secepat itu? Pendarahan, kerusakan organ dan tentunya jaringan otot yang ada di dalam sana, apakah rumah sakit ini bisa menyembuhkannya secepat itu?

"Professor, aku masuk pasien kategori apa?"

"Oh, kamu masuk pasien kategori Deluxe. Perawatan yang diberikan padamu sangat kompeten dan dalam waktu beberapa jam lagi, kamu pasti sudah sembuh total," jawab Professor Lydia.

"Tunggu ... kategori Deluxe? Apa uang kantor sebanyak itu? Itu kategori paling atas di rumah sakit ini, tidak banyak orang yang bisa membayarnya."

"Umm ... ada yang mendonasikan uangnya demi perawatanmu," ucap Professor Lydia.

"Siapa?"

"Aku." Jerry berdiri di ambang pintu sambil melipatkan tangannya, "professor, bolehkah aku minta waktu sejenak dengan Nick?"

Professor Lydia menganggukan kepalanya, lalu keluar dari ruangan itu dan menunggu di luar.

"Halo, Nick," ucap Jerry, "tidur nyenyak?"

Nick tersenyum meskipun sejujurnya dia sedikit bingung tentang alasan Jerry mau mendonasikan uangnya untuknya.

"Tidurku nyenyak ... terimakasih telah membantu dengan membayarkan biaya perawatanku. Tapi, kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba membantuku?"

"Tidak masalah, Nick. Kamu telah sangat membantuku, jadi aku perlu membalasmu dengan sesuatu, dan kebetulan sekarang kamu memang membutuhkan bantuan," jawab Jerry sambil tersenyum pada sobatnya.

Sekali lagi, Nick kebingungan dengan apa yang dimaksudnya. Bantuan? Bantuan apa yang dilakukannya?

"Apa maksudmu? Apa yang telah kubantu untukmu?"

Jerry memandang Nick sebentar, lalu merogoh sesuatu dari dalam saku jaketnya. Dia mengeluarkan sebuah kantung plastik kecil berisi sampel darah lalu memberikannya kepada Nick.

"Itu adalah darah dari ghost yang tadi kau tembak, Nick. Tim laboratorium mengidentifikasinya sebagai seorang wanita dengan nama Elizabeth Quinn. Apa kamu tahu kasus kematiannya?" tanya Jerry.

Nick menggelengkan kepalanya.

"Baiklah. Aku ceritakan saja ... beberapa minggu yang lalu, kantor NBPD mendapat panggilan yang melaporkan ada mayat seorang wanita muda tergeletak di gang. Saat kami menanyakan identitas dari si penelpon, dia menjawab bahwa dia adalah Elizabeth Quinn," ucap Jerry sambil menatap mata Nick dengan tajam, "tapi kamu tahu apa yang aneh? Saat kami mencari mayat itu ... kami menemukan bahwa mayat itu sendiri adalah mayat dari Elizabeth."

The Ghost of TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang