PRIA TUA BERAKSI KEMBALI
Lidya tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang gegabah karena selalu tidur tanpa mengenakan pakaian, kebiasaan buruknya itu membuat mertuanya yang bejat bisa memanfaatkan situasi dengan mudah. Selain selalu tidur tanpa sehelai benang pun, satu lagi kebiasaan buruk Lidya adalah dia sering meremehkan situasi.
Lidya dengan santainya tidur telanjang tanpa mengunci pintu kamar, padahal dia hanya berdua saja dengan mertuanya. Sungguh sebuah kesalahan yang sangat fatal. Ingatan Lidya tak bisa lepas dari kejadian di malam terkutuk saat Pak Hasan, mertuanya sendiri dengan leluasa memperkosa Lidya.
Lidya terjaga sepanjang malam, dia tidak bisa tidur karena masih teringat apa yang telah dilakukan Pak Hasan kepadanya. Dia berusaha melupakan semua kejadian, tapi amatlah sulit melupakan perkosaan yang terjadi pada diri sendiri. Jangankan melupakan, denyutan penis mertuanya yang melesak di dalam vagina seakan tidak pernah hilang dari memek Lidya.
Pak Hasan mengancam akan melakukannya lagi, dan dengan kepergian Andi selama beberapa hari ini, tentunya amat mudah bagi Pak Hasan memperoleh kesempatan untuk menidurinya lagi. Lidya berusaha mencari cara untuk melarikan diri dari terkaman nafsu sang ayah mertua. Untungnya ayah mertuanya yang bejat itu seharian pergi entah kemana.
Sudah sepanjang pekan Lidya kesulitan menghubungi Mbak Alya, sejak kunjungannya yang terakhir kali, mereka tidak pernah bertemu lagi, kalaupun berhubungan hanya melalui sms singkat menanyakan kabar. Mungkin Alya dan Hendra sedang sibuk sehingga jarang berada di rumah. Satu-satunya harapan Lidya kini ada pada Dina.
Tadi pagi Lidya sudah berusaha menghubungi Mbak Dina. Tapi ada sesuatu yang aneh dari nada suaranya. Kakaknya itu biasanya senang kalau ditelpon Lidya atau Alya, tapi hari ini sangat lain, sepertinya ada beban berat yang tengah dipikul Mbak Dina.
"Mbak, aku boleh tidur di sana seminggu ini? Paling tidak sampai Mas Andi pulang.", tanya Lidya saat menelpon Dina. "A-aku takut di rumah sendirian, Mbak."
"Eh... ehm... gimana yah... ehm... a-aku..." Dina terbata-bata menjawab.
Lidya mengernyitkan dahi. Aneh sekali, ada apa dengan kakaknya itu? Tidak biasanya Mbak Dina terbata-bata saat menerima telepon darinya. Pasti kakaknya itu tengah menghadapi satu masalah yang sangat berat.
"Mbak Dina? Mbak kenapa?"
"Eh... ehm, aku nggak apa-apa kok. Hanya saja untuk beberapa hari ini aku tidak bisa menerima tamu, dik. Karena... ehm... karena... karena... aku dan Mas Anton sangat-sangat sibuk, iya, kami sangat sibuk. Bahkan untuk mengurus anak-anak saja tidak sempat dan... dan... lalu... ehm..."
"Oh ya sudah kalau begitu. Mbak Dina baru sibuk ya? Nggak apa-apa kok, Mbak. Aku juga nggak pengen nggangguin kalau Mbak Dina lagi sibuk.", Lidya jadi tidak enak hati. Tapi sebagai seorang adik yang hapal dengan sikap dan sifat kakaknya, Lidya tahu ada sesuatu yang tidak beres di rumah Dina.
Itu sebabnya kakaknya itu menolak kedatangannya. Belum pernah seumur hidupnya Dina menolak kehadiran Lidya, Alya ataupun keluarga yang lain. Lidya paham benar ada masalah berat yang tengah dihadapi kakaknya. Dengan berat hati karena kecewa gagal melarikan diri dari rumah, Lidya pun pamit. "Kalau begitu, nanti aku telepon lagi yah, Mbak."
"I-iya, dik. Sori banget yah. Aku baru..."
"Iya Mbak, nggak apa-apa. Dah Mbak Dina."
"Dah Lidya."
Klik.
Kekhawatiran mulai merasuk ke diri Lidya.
###
Alya menguap usai menonton film malam di televisi, karena sudah merasa mengantuk maka dimatikannya pesawat tv. Film yang diputar mulai jam 23.00 itu baru usai jam 01.00 dinihari. Hendra sudah terlelap setelah kelelahan seharian bekerja, Opi juga sudah nyenyak di kamar.