NAMANYA LIDYA
"Apa?" Lidya Safitri terbelalak kaget. Bola matanya yang indah menatap suaminya yang saat itu tengah membaca koran di ruang tamu. Kalau saja Lidya tidak mampu menguasai emosinya, kopi yang ia bawakan untuk Andi akan tumpah.
"Apa kenapa, sayang?" Andi balik melihat ke arah istrinya yang sedang berdiri kaku dengan heran.
"K – K – Kamu barusan bilang apa........??"
"Sudah panjang lebar cerita ternyata masih harus diulang, makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin," keluh Andi, "tadi aku bilang, aku sudah menemukan rumah kontrakan yang bagus. Tempatnya tidak jauh dari sini, fasilitas lumayan, harganya juga murah. Aku sudah ajak Bapak ke sana, katanya sih cocok."
Lidya mengangguk, bukan kabar ini yang membuatnya kaget. Kabar ini justru membuatnya senang sekali. Adalah kalimat – kalimat selanjutnya yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Dalam waktu dekat Bapak mau pindah ke sana." Lanjut Andi, "Tapi... kata Bapak sebelum dia menempati rumah kontrakan yang baru, dia pengen balik sebentar ke desa. Berpamitan, ziarah atau apalah..." Andi membalik halaman koran yang ia baca sambil terus menerangkan hal yang sebenarnya baru saja ia sampaikan pada Lidya, "...berhubung aku harus mengurus kontrakan baru Bapak ditambah kerjaan yang belum selesai di kantor, maka kamu yang nganterin Bapak ke desa."
Inilah yang membuat Lidya terkejut setengah mati.
"T – t – tapi, mas... kenapa Bapak tidak pulang sendiri saja?"
"Ah, kamu ini!" Andi menatap Lidya dengan tatapan mata galak. Pria itu paling benci kalau Lidya tidak mau berkumpul atau menyatu dengan keluarganya. "Bapak kan sudah tua, kasihan dong harus pergi jauh seorang diri walaupun hanya untuk sebentar. Biar bagaimana juga dia itu bapakku! Masa gitu aja kamu nggak mau? Kalau saja aku ada waktu, aku yang akan mengantarkannya ke desa! Aku tidak akan minta bantuanmu!"
"Bukan begitu. Bapak kan masih kuat, Mas. Aku pikir..." Lidya terus mencari celah untuk menghindar, si cantik itu meletakkan kopi Andi di meja tanpa sedikitpun menatap matanya. Dia tidak berani bertatapan mata langsung dengan suaminya, ia takut Andi akan mencurigainya. Lidya tidak ingin suaminya tahu ayahnya sendiri hampir tiap hari menidurinya. Lidya melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mencari alasan yang tidak akan menyinggung perasaan Andi. "Aku juga tidak yakin beliau mau aku temani pulang ke desa..."
Andi mengeluarkan nafas panjang. "Aku kemarin sudah ngobrol sama Bapak. Tadinya dia memang menolak ditemani siapa – siapa, dia bilang tidak mau merepotkan. Tapi setelah aku bujuk lama – lama luluh juga. Bapak akhirnya setuju kamu antar."
Lidya membalikkan tubuh untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya bergetar ketakutan dan keringatnya mulai menetes. Andi memang tidak tahu kalau Pak Hasan yang terhormat telah memperlakukan istrinya dengan tidak senonoh. Bayangkan apa yang akan dilakukan lelaki tua cabul itu jika Andi memberikan peluang bagi Pak Hasan untuk berdua saja dengannya?? Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana menolaknya?
"Kapan Bapak mau berangkat, Mas? Berapa lama di sana?" tanya Lidya dengan penuh harap. Tidak ada gunanya melawan Andi kalau sedang seperti ini.
"Berangkat besok lusa, naik bis. Mungkin sekitar empat hari, kalian menginap di rumah sahabat Bapak di desa, namanya Pak Raka. Kebetulan yang punya rumah malah baru pergi ke kota. Keluarganya juga kenal dengan aku kok, keluarga Pak Raka sudah seperti keluarga kita sendiri, dulu waktu kecil aku sering tidur di rumah Pak Raka......" jawab Andi sambil terus membaca korannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Lidya.
Lidya memejamkan mata dan berusaha menahan geram. Sial.
###
Sudah hampir setengah jam Lidya menunggu, ia melirik ke arah jam tangan cantik yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Bis belum juga datang, padahal hari sudah semakin larut. Jika mereka berangkat terlalu malam, mereka baru akan sampai di desa esok siang.