Friday

895 142 57
                                    

Magelang, kota kecil nan sejuk yang berbatasan dengan bagian utara Yogyakarta. Kota kecil yang padat dan berkembang dengan cukup pesat. Sebagai jalur utama yang menghubungkan dua kota besar Semarang dan Jogja, Magelang memang tidak pernah sepi.

Di kota inilah aku menghabiskan masa kanak-kanak sampai remajaku. Mempunyai ayah yang berprofesi sebagai tentara membuat keluargaku sering berpindah dari kota satu ke kota lainnya. Aku lahir di Banjarmasin, lalu tinggal di Magelang dari TK hingga SMA, sebelum kemudian Papa dipindahtugaskan ke Cimahi, tempat keluargaku tinggal dengan permanen sekarang.

Sejak lulus SMA, bisa dihitung dengan jari aku mengunjungi kota ini lagi. Aku kuliah di Bandung dan sekarang bekerja di Jakarta. Teman-teman sekolahku juga sudah menyebar ke berbagai kota dengan profesi mereka masing-masing. Hanya ada keluarga adik Mama di kota ini, itu pun mereka sudah pindah ke Jakarta empat tahun lalu. Makin tidak ada alasan bagiku untuk kembali ke sini.

Perlu sebuah event besar untuk akhirnya membawaku kembali ke Magelang. Akhir pekan ini, Alea, sahabatku sejak SMP, akan melangsungkan pernikahan. Resepsi dilaksanakan hari Minggu. Tetapi aku sekalian mengambil cuti dua hari, Jumat dan Senin. A short getaway untuk mengganti rencana liburanku ke Jepang akhir tahun lalu yang gagal total, juga karena Alea sudah mengultimatum bahwa dia sudah harus melihat wajahku di hari Jumat.

Untuk itulah aku mengambil flight ke Jogja Kamis malam. Pukul 22.00, aku sampai juga di Magelang dan langsung menuju hotel untuk beristirahat. Hal terakhir itu sempat ditentang keras oleh Mama.

"Ada rumah di Magelang kenapa harus di hotel, sih, Mbak?" katanya tidak habis pikir dengan kelakuan anak gadisnya yang beberapa bulan lagi akan memasuki kepala tiga ini.

Aku meringis kecil menatap wajah Mama di layar. "Rumah Magelang kan udah lama banget nggak ditinggalin, Ma. Mana berani Raina sendirian di sana malem-malem gini. Lagian kan di rumah nggak ada Wifi, nanti Raina susah urus kerjaan."

"Lha wong cuti kok masih urus kerjaan." Mama berdecak lagi.

Berbeda dengan Mama yang mulai senewen, Papa justru terlihat bersemangat di sampingnya. Sejak aku mengutarakan maksudku untuk berkunjung ke Magelang akhir pekan ini, Papa memang yang paling antusias, bahkan melebihi aku sendiri.

"Magelang banyak berubah nggak, Mbak Na? Sekarang udah ada mall ya?"

Aku tergelak mendengar nada excited di suara Papa. "Mall banget, Pa, yang ditanyain?"

"Soalnya jaman kita di sana kan belum ada, Mbak Na. Kalau mau ke mall harus ke Jogja dulu." Papa mulai bernostalgia. Beliau memang sepertinya jatuh cinta dengan kota ini, bahkan sempat berencana menghabiskan masa tua di sini.

"Temen-temen Papa masih banyak yang di Magelang, Mbak. Kalau ada waktu mungkin kamu bisa sowan ke sana."

"Nanti aku dimarahin Alea karena malah sibuk sendiri, Pa," jelasku. Sebuah upaya untuk menolak permintaannya dengan halus. Menghabiskan waktu dengan bertandang ke rumah teman-teman Papa jelas tidak masuk dalam agendaku weekend ini.

"Woy! Udah di Magelang lo?"

Satu wajah lagi muncul di video call kami. Kiara, adikku satu-satunya, baru saja aku undang untuk bergabung. Ia saat ini masih di Jakarta karena masih ada kegiatan perkuliahan. Rencananya, Sabtu pagi ia akan menyusulku ke Magelang. Rindu, katanya.

"Kiara, yang sopan sama Mbak Na," tegur Mama langsung yang hanya dianggap angin lalu oleh Kiara.

Berbeda denganku, Kiara masih kecil waktu keluarga kami pindah ke Cimahi. Ia baru berusia tujuh tahun saat itu. Menghabiskan masa sekolah di Bandung lalu dilanjut kuliah di Jakarta, Kiara otomatis tumbuh dengan pergaulan metropolitan. Mama hanya mengelus dada tiap Kiara berbicara padaku tanpa sopan santun yang selama ini beliau ajarkan.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang