Saturday - Part 1

561 127 27
                                    

Aku baru sadar kalau aroma mobil Ghidan ini mengingatkanku pada pantai. Sinar matahari yang hangat, ombak yang bergulung-gulung, angin semilir segar yang menerbangkan rambutku. Ah, membayangkannya saja aku sudah rindu pantai. Apalagi perjalanan pagi-pagi begini, membuatku membayangkan sunrise di pantai. Sayangnya, tidak ada pantai kali ini. Hanya ada fajar yang mulai menyingsing, aktivitas jalanan yang perlahan menggeliat, Ghidan, dan lantunan suara Frank Sinatra yang samar-samar.

Dan mengapa aku bisa berada di dalam mobil Ghidan lagi?

Semalam, setelah ucapannya yang membuatku terkejut dan menimbulkan getaran di dalam hatiku, Ghidan mengirimkan sebuah pesan WhatsApp padaku. Isinya tidak terlalu panjang. Dia hanya menanyakan jadwal penerbangan Kiara dan menawarkan diri untuk mengantarku menjemputnya karena dia juga ada janji dengan temannya di Jogja. Awalnya kutolak karena Kiara memang berencana untuk ikut Damri kemari, tetapi Ghidan terus mendesakku sampai aku tidak punya alasan lagi untuk menolak.

"Udah segede apa Kiara sekarang, Na?"

Terakhir Ghidan melihat Kiara, adik kesayanganku itu masih SD. Dulu, Kiara sering memonopoli Ghidan tiap pria itu main ke rumah. Bukannya marah, Ghidan justru menuruti semua permintaan Kiara dengan sepenuh hati. Ghidan adalah anak tunggal. Jadi, jangan heran kalau Kiara sudah dianggapnya seperti adik kandung sendiri.

"Semester 4 dia, Ghi. Udah centil, nggak kayak kakaknya."

Alis Ghidan terangkat, dan aku sudah menyiapkan telapak tangan untuk menempelengnya, siapa tahu ia menyeletukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. "Kakaknya nggak centil? Masa, sih? Nggak inget itu tas make-up yang pernah disita BK?"

Telapak tanganku seketika mendarat di lengannya yang keras. "Nggak usah diungkit lagi!" seruku sengit.

Masa-masa itu memang masa aku sedang centil-centilnya. Sok-sokan ingin mengerti make up, merawat diri, dan kecentilan lainnya. Akibatnya, pouch make up ku kena razia dan aku harus membuat surat permintaan maaf. Jangan tanyakan reaksi Papa saat itu. Aku ingin muntah kalau mengingat omelannya.

"Kamu emang mau ketemu temen sepagi ini, Ghi?" tanyaku karena masih tidak mengerti perilakunya ini. Entah dia memang terlalu baik sampai rela menjemput adikku di bandara yang tidak bisa dibilang dekat pagi-pagi begini, atau dia memang ada janji yang harus dipenuhi dan mengajakku sekalian hanya untuk gestur beramah-tamah.

Ghidan sempat terdiam. "Nggak juga, sih. Janjiannya masih nanti siang," jawabnya akhirnya.

"Loh, terus?"

Tawanya yang dalam seketika terdengar. Ia sempat menggelengkan kepala pelan sebelum melirikku sekilas. "Aku cuma butuh excuse buat ngajak kalian jalan-jalan."

Serangan fajar apalagi ini? Berapa banyak trik dan kejutan yang Ghidan simpan di kantongnya? Jantungku ini, loh, tidak akan kuat menahannya.

Karena aku belum menanggapi, Ghidan kembali bertanya. "Boleh, ya, Na?"

"Boleh apa?" tanyaku was-was. Tentu harus waspada, karena Ghidan ternyata tidak baik untuk kesehatan jantungku.

"Ngajak kamu sama Kiara jalan-jalan," dia menjawab kalem.

"Memangnya, kalau aku nolak, kamu mau antar aku pulang sekarang?" Beginilah caraku membentengi diri. Pura-pura tidak peduli, berlagak sok terkendali.

Ghidan mengangkat bahu. "Kalau itu emang mau kamu, pasti aku akan antar kamu pulang. Aku nggak akan melakukan hal-hal yang bikin kamu nggak nyaman, Na."

Tapi kamu sekarang bikin aku nggak nyaman, Ghidan!! Ingin sekali aku berteriak di depan wajahnya. Perilakunya saat ini seolah-olah menghapuskan 12 tahun di antara kami. Seolah-olah kami tidak pernah berpisah sebelumnya.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang