Sunday - Part 1

554 122 34
                                    

Masih pada nungguin kah? Semoga ga kemaleman ya ini. Enjoy!

***

Dari dulu, Alea memang cantik. Tapi, melihatnya dalam balutan kebaya putih dan riasan pengantin membuatnya berkali-kali lipat lebih memesona. She's glowing. She's breathtaking.

Ah, belum apa-apa aku sudah ingin menangis.

"Kamu beneran nikah, Le?" Aku langsung memeluk lehernya dari belakang, tentu saja berhati-hati agar tidak merusak tatanan rambutnya. Kutahan rasa haru yang mulai merebak di dada. Lebih baik kusimpan untuk acara akad nanti.

Alea tersenyum menatapku dari pantulan cermin. Ia menepuk-nepuk tanganku lembut. "Nggak nyangka, ya, Na? Aku juga masih nggak percaya."

Aku dan Alea melewati banyak hal bersama. Alay-alaynya kami waktu SMP, kebandelan-kebandelan kami, susahnya kuliah, sampai quarter life crisis pun kami lewati bersama meski terpisah jarak. Dan hari ini, ia akan menjajaki langkah baru dalam hidupnya. Sebuah keputusan besar tentu saja, tetapi aku yakin, Tama adalah orang yang tepat untuk menjalani semua ini dengannya.

"I wish you both the very best, Le," aku berbisik dengan sungguh-sungguh. Kupeluk erat dia sekali lagi sebelum aku menarik diri. Aku kemudian duduk di salah satu sofa bersama beberapa sepupu Alea sementara dia melanjutkan proses persiapan.

"Udah ketemu Ghidan belum? Cakep loh dia pake beskap."

Berhubung ini hari bahagianya, aku tidak akan mencekiknya karena sudah membawa-bawa nama Ghidan. Entah kalau besok.

"Ghidan tuh yang tadi masuk bawain makanan itu, loh, Mbak," Alea menatap sang MUA, memberikan penjelasan tidak penting.

"Oooh yang tinggi banget itu, ya? Siapanya Mbak Raina kalau boleh tau?" Si MUA ikut-ikut bertanya usil. Aku semakin ingin menenggelamkan diri di sofa.

Sebenarnya, aku sudah melihat Ghidan sekilas dalam perjalanan ke ruangan ini. Harus kuakui, dia terlihat luar biasa tampan. Beskap abu-abu pucat itu memeluk tubuhnya dengan pas, menonjolkan bahunya yang bidang.

"Bukan siapa-siapa, Mbak," jawabku pada si MUA, berharap agar dia tidak bertanya-tanya lagi.

Alea melempar senyum penuh arti padaku lewat pantulan cermin. Aku langsung membuang muka. Begitu melihat wajahku yang pasti memerah, aku yakin, Alea akan langsung bisa membaca perasaanku.

Untung saja Alea tidak punya banyak waktu untuk menggodaku karena acara akan segera dimulai. Aku segera mengikuti rombongan keluarga untuk bertugas menerima seserahan, sementara Alea tetap berada di ruangan sampai nanti Tama selesai mengucapkan ijab kabulnya. Kutarik napas panjang dan ku hembuskan perlahan. Ini bukan pernikahanku tetapi aku ikut merasakan ketegangan itu.

Saat aku berbaris di antara saudara-saudara Alea, saat itulah aku melihat Ghidan berdiri di antara teman-teman Tama yang lain. Mereka berdiri berjejer di bagian depan. Beberapa wajah terlihat familiar bagiku, sedangkan sisanya benar-benar asing.

Ghidan menangkap pandanganku dan dia tersenyum. Sebelum aku sempat bereaksi, bisik-bisik di sekitarku terdengar lebih menarik perhatian.

"Lesung pipinya, ya Tuhaaaan," salah satu sepupu Alea berbisik pada sepupunya yang lain.

"Ngapain yak dia senyum-senyum ke sini? Nggak tau apa, hati ini lemah kalo liat orang ganteng?"

Oh, ternyata, belum ada dua jam di sini, Ghidan sudah berhasil mengumpulkan penggemar? Kukatupkan bibirku untuk menahan tawa. Sementara Ghidan terlihat bingung karena aku tidak membalas senyumnya.

Lalu kurasakan seseorang menjawil lenganku. Salah satu sepupu Alea yang baru saja dibuat heboh oleh senyum Ghidan mencondongkan tubuhnya. Ia tampak penasaran.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang