Sunday - Part 2

580 121 19
                                    

"Sini, aku bawain."

Tersenyum penuh terima kasih, aku memberikan Ghidan sebuah tote bag besar berisi pakaian, sepatu, dan peralatanku yang lain. Kami berdua berjalan keluar dari ruang ganti untuk kemudian ke mobilnya dan pulang. Tetapi, sebelum itu, ada satu hal yang harus kulakukan.

"Bentar, Ghi. Aku ketemu Alea dulu, ya." Kupikir Ghidan akan melanjutkan langkahnya ke area parkiran, ternyata dia malah mengikutiku di belakang.

Untung saja Alea masih ada di ruang make up, tampak sedang menyelonjorkan kaki di atas sofa. Tama juga terlihat melakukan hal yang sama. Mereka pasti lelah harus menyapa semua tamu malam ini.

"Loh, Na? Kirain udah pulang." Alea bahkan terlalu lemas untuk duduk dengan benar.

Aku tertawa. Kutarik kursi ke hadapan Alea sementara Ghidan juga menempati salah satu kursi di ruang yang hanya berisi kami berempat ini.

"Ya kali nggak pamitan dulu. Lagian aku ada sesuatu nih buat kamu."

Aku mengambil ipad dari dalam tas yang kubawa, mengutak-atiknya sebentar, dan menunjukkannya ke hadapan Alea. Alea terlihat bingung. Aku dan Tama bertukar pandang singkat, lalu sama-sama tersenyum. Kuharap Alea menyukai apa yang sudah kusiapkan sejak lama untuknya.

"Inget nggak, kamu pernah bilang kalau kamu dan Tama kesulitan cari rumah di lokasi yang kalian incar?" aku memulai. Alea mengangguk pelan meski masih tidak bisa menangkap apa yang sedang kubicarakan. "Beberapa bulan yang lalu, Tama telepon aku, ngajak sekaligus minta tolong untuk dicarikan rumah. Kami nyari lumayan lama, dan akhirnya ada satu yang lokasinya sesuai keinginan kalian."

Alea langsung menoleh ke arah Tama yang tengah tersenyum kepadanya. "Kamu kok nggak bilang kalau udah nemu rumahnya?"

Tama hanya mengangkat bahu. "Kan surprise."

"Terus ini rumah siapa, Na? Jangan bilang ini rumah yang dibeli Tama?"

Aku tersenyum menatap keduanya. Kalau Alea pikir kejutannya hanya sampai di sini, dia salah besar.

"Rumah yang waktu itu dipilih Tama sebenernya kurang ideal, sih, Le. Lokasinya mungkin bagus, tapi bangunannya lumayan tua dan udah lama nggak ditempati. Jadi, yang sekarang kamu lihat itu, desain calon rumah kalian nanti. Dari aku, tentu aja," aku menutup penjelasanku dengan puas.

Reaksi Alea tepat seperti harapanku, dan aku lega karenanya. Dia sampai menutup mulutnya dengan tangan karena tidak percaya pada apa yang dilihatnya sendiri. It means she likes it, right?

"Ya ampun, Na! Kamu... bikinin desain buat rumah kita??" Alea memekik tak percaya. Aku mengangguk-angguk. Detik selanjutnya, bisa kurasakan kedua lengan Alea memelukku erat. Tak tahan, aku pun tertawa.

"Jadi ini gratis??" Alea memastikan sekali lagi. Tawaku pun makin keras.

"Tadinya aku udah mau bayar dia, Yang, tapi dia nggak mau. Katanya ini hadiah buat kita," Tama menambahkan. Dari ekspresinya, sepertinya dia masih tidak rela kalau aku melakukan ini secara cuma-cuma. Padahal aku benar-benar tulus ingin melakukan ini untuk mereka.

Aku membiarkan Alea dan Tama melihat-lihat desain yang sudah kubuat untuk rumah mereka nanti setelah mereka pindah dari apartemen Tama. Secercah haru kembali kurasakan melihat wajah bahagia mereka. Sesaat kemudian, kurasakan sesuatu menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. Aku mendongak dan mendapati Ghidan tersenyum ke arahku. Dia juga pasti merasakan apa yang kurasakan sekarang. Tak ayal, aku pun ikut tersenyum.

"Setelah kalian balik honeymoon, kita bisa mulai meeting ya. I want your input too in this. Siapa tau ada yang harus aku revisi," ujarku setelah Alea dan Tama selesai dengan momen mereka.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang