Aku sudah pernah bilang, kan, kalau kehadiran Ghidan membuatku merasa seperti remaja lagi?
Ingatanku tentang Ghidan hanya berhenti di usia 18 tahun. Saat itu rambutku masih hitam legam dengan poni samping, sementara Ghidan adalah cowok jangkung dengan badan cenderung kurus dan rambut acak-acakan. Aku ingat segala kenaifan kami. Bagaimana kami saling tertarik, jatuh cinta, lalu berpisah dan patah hati. Bertemu lagi dengan Ghidan membuatku semakin mengingat jelas semuanya.
We thought we'd got everything figured out. Saat menjalin kasih waktu itu, kami merasa seperti orang dewasa dan tahu segalanya soal cinta. Aku mencintai Ghidan dan sebaliknya. Kami pikir, itu semua cukup untuk membuat kami tidak kehilangan masing-masing. Tapi ternyata, menjalin hubungan lebih dari perkara cinta.
Karena cinta ternyata tetap tidak mampu menahannya untuk tidak berangkat ke Miami. Cinta yang kami punya tidak cukup untuk membuatnya melupakan impiannya dan mempertahankanku. Cinta tetap tidak bisa membuatku mengerti keputusannya waktu itu, dan memilih untuk mengambil jalan pintas; putus. Membayangkan menjalani hubungan jarak jauh terasa begitu mengerikan, dan Ghidan pun akhirnya menuruti permintaanku.
Selama ini aku hanya memikirkan semuanya dari sudut pandangku. Bagaimana aku yang dia tinggalkan, lalu berusaha mengembalikan puing-puing hatiku yang hancur selepas kepergiannya. Tapi, tidak pernah terlintas di pikiranku apa yang Ghidan rasakan selama ini. Dia pasti juga merasa berat untuk meninggalkan semuanya. Tidak hanya aku tapi juga keluarganya, teman-teman dekatnya. Life must be hard for him during those days.
But is it any different now? Maksudku, dia seorang pilot. Waktunya di udara pasti lebih banyak daripada waktu untuk bertemu orang-orang terkasihnya di daratan.
"Berat nggak sih, Ghi?"
Pertanyaan itu terlintas begitu saja di benakku. Kami sedang duduk di atas ayunan sambil menikmati pemandangan gurun pasir yang terbentang di depan sana. Keira dan temannya yang ikut bergabung dengan rombongan kami sudah entah ke mana, mungkin mengambil lebih banyak foto. Hanya ada aku dan Ghidan di sini, dan keheningan ini membuatku tiba-tiba memikirkan banyak hal.
"Apanya, Na?"
"Terbang," jawabku. "Meninggalkan semua yang di daratan." Kalimatku memang terdengar berbelit, tapi aku yakin Ghidan paham maksudku.
"I never think about it that way, sih, Na. Ini jalan yang kupilih sendiri. Aku nggak akan bisa bertahan sejauh ini kalau memikirkan bahwa dengan pekerjaanku, aku meninggalkan orang-orang yang kusayang. I never leave them. And they never have to lose me either. Kangen, sih, nggak usah ditanya. Tapi selama mereka selalu ada di sini," ia menunjuk pelipisnya, "dan di sini," lalu menunjuk dadanya, "it won't be a problem at all. Lagian, pilot kan nggak berarti nggak pernah libur juga, Raina. Buktinya aku di sini sekarang. Sama kamu."
Jawabannya membuatku terpaku. He never leaves them and they never have to lose him either. Apakah saat itu aku juga termasuk di dalamnya?
"Pacar kamu emang nggak pernah protes?" Mulutku tidak tahan untuk bertanya.
Ghidan hanya menatapku dengan tenang. "Kamu tadi ngobrol sama Sarah, kan? How is she holding up? Dia dan Oliver udah hampir empat tahun ngejalanin long distance marriage."
Obrolanku dengan Sarah tadi juga menjadi salah satu faktor mengapa aku mengangkat topik ini sekarang. Because I still don't get it. Aku tumbuh dengan keluarga yang selalu mengikuti ke manapun Papa pergi. Aku sendiri juga belum pernah menjalani hubungan jarak jauh.
"She managed, I guess? Dia nggak bilang banyak, sih, selain kalau semuanya worth it. Oliver's worth it."
Ghidan mengangguk. "It's all worth it dengan orang yang tepat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Restart
Fanfiction[COMPLETED] Dua belas tahun lalu, Raina dan Ghidan yakin, LDR Bandung-Miami tidak akan bisa mereka jalani. Terlalu jauh. Terlalu banyak yang harus dikorbankan. Setelah dua belas tahun tidak pernah saling mendengar kabar, mereka bertemu kembali. Kali...