Pip!!
Pip!!
Pip!!
Dia, Namjoon. Masih setia menutup matanya. Terhitung bulan kedua sejak dia dinyatakan koma. Semuanya ada disini. Tuan dan Nyonya Kim. Saudaranya, dan teman-temannya. Sekarang hanya ada Seokjin disana, hyungnya.
"Joon-ie bangunlah. Hyung minta maaf karna tidak menjaga mu dengan baik. Hiks hyung mohon Joon, bangunlah hiks. Setelah ini hyung j-janji, t-tidak akan mengacuhkan mu lagi. Jeongmal!"
Seokjin menangis, kepalanya menunduk menyembunyikan tangisnya. Walau orang yang di hadapannya tidak bisa melihatnya. Seokjin terpukul, dokter bilang, prediksi Namjoon akan lumpuh itu besar sekali. Karna saat kecelakaan, kakinya terjepit diantara bangku penumpang.
Ada banyak kata seandainya yang ingin Seokjin sampaikan pada tuhan. Tapi, dia sadar, itu percuma. Dia hanya takut, bagaimana reaksi Namjoon nanti. Apa dia akan marah pada mereka? Seokjin tak sanggup. Dadanya sesak mengingat kejadia itu.
"Apa yang kau lakukan ha?!"
Namjoon hanya menunduk, tidak berani menatap ayahnya. Jujur dia lelah sekali. Teman-temannya menjauh. Hanya karna dia tidak datang ke acara pemakaman ayah Jungkook.
Bukan tanpa alasan, ayahnya memaksa Namjoon agar ikut di acara pertemuan bisnis. Namjoon sudah menolak, dengan alasan bahwa ayah Jungkook telah berpulang. Tapi, ayahnya memaksa. Dan sialnya, saat hari ini dia kembali sekolah, menemui yang lain, bogeman mentah dia dapatkan dari Jungkook.
Aksi itu berlanjut dengan pengeroyokan. Karna Meraka bilang, kematian ayah Jungkook disebabkan oleh ayahnya sendiri. Ayahnya kalah tender, dan menyewa preman untuk membunuh ayah Jungkook.
Setelah mereka pergi, Namjoon pun ikut bernjak dari sana. Pulang. Dirumah Namjoon marah pada ayahnya. Dia berteriak dan berakhir bertengkar.
"Aku pergi ayah!! Silahkan kau urus Seokjin hyung, anak kesayangan mu itu. Hiks hiks, semoga kau bahagia."
Belum genap satu jam dari kepergian Namjoon. Seseorang mengabarkan tuan Kim, ayah Namjoon, bahwa bus yang ditumpangi anaknya kecelakaan. Dan dilarikan ke rumah sakit.
Tangan itu bergerak pelan, matanya bergetar dan mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang menyerangnya.
"Eungg!"
Seokjin seketika mengangkat kepalanya. Terpekik senang saat sang adik menatapnya. Tunggu, ada yang berbeda. Sorot itu hanya datat, dan... benci? Benarkah?
"N-namjoo-ah kau sadar? Hiks hiks kau bisa mendengar ku?"
"K-kaki ku k-kaki ku kenapa?"
Dibalik masker oksigen yang dikenakannya, Namjoon berusaha mengeluarkan suaranya. Walau hanya lirih terdengar. Seokjin tersenyum kecut. Kemudian memencet tombol merah disamping bantal Namjoon. Menarik nafas dan kemudian mengucapkan dengan hati-hati.
"Maafkan Hyung Joon," Seokjin hanya bisa berucap lirih.
Selanjutnya dokter datang dan memeriksa keadaannya. Setelah mendengar penjelasan dokter, Namjoon hanya diam dengan pandangan kosong, sembari matanya menatap keluar jendela.
Dalam diamnya, Namjoon berfikir. Kenapa dia masih disini? Kenapa dia tidak pergi jauh? Jika harus kecelakaan, kenapa tidak mati saja?
"Hiks... hiks..."
Air mata tidak dapat dibendung, disusul dengan isakannya yang menyayat hati. Seokjin disana, duduk disamping sang adik. Sesekali tangannya menggenggam tangan sang adik yang tidak terdapat infus. Walau tangan itu selalu menepisnya dan menghindar.
"Kenapa kau ada disini? Tuan Kim akan memarahi ku jika tau kau dekat dengan ku," jika biasanya suara itu akan dipenuhi nada ceria. Sekarang hanya nada datar yang dikeluarkannya. Seokjin mengerti, Namjoon pasti terpukul. Atau, kecewa? Benci? Seokjin tidak akan sanggup jika itu terjadi.
"Appa Joon. Bukan tuan Kim. Hyung disini menemani mu," Seokjin tersenyum sembari tangannya mengelus pucuk kepala sang adik. Tapi, tidak ada reaksi apapun. Adiknya ini tetap pada posisinya. Memandang kosong kearah jendela. Menampilkan hujan yang mengguyur siang ini.
"Hahhhhh..."
Seokjin menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hyung-ie tau ini sangat menyiksa mu. Hyung tau kau kecewa pada kami. Mian Namjoon-ah, jeongmal mianhae," diucapkannya maaf sembari terisak. Menggenggam tangan adiknya yang tidak terpasang infus.
Seokjin tau dia bersalah, ahh, ani, tapi mereka semua salah. Mereka terlalu menuntut, terlalu mengagungkan suatu hal bernama kesempurnaan. Melupakan banyak hal, menghalalkan segala cara, hanya demi hal itu.
"Naga!"
Seokjin masih bergeming. Tidak beranjak sedikitpun walau tau sang adik mengusirnya. "NAGARAGO!!"
Tidak ada pilihan lain. Dia harus keluar. Setidaknya, membiarkan Namjoon untuk menenangkan pikirannya tidaklah salah.***
"Hyung-ie marah ya denganku?"
Teman-teman Namjoon datang siang ini. Tapi tidak ada satupun yang diijinkan masuk kecuali Jungkook, serta Jimin dan Taehyung. Alasannya? Semua org tau Namjoon pasti masih marah. Bahkan sejak semalam sang ayah tidak diijinkan masuk.
"Tidak. Siapa yang mengatakan itu? Harusnya hyung yang meminta maaf. Bagaimana dengan bibi Jeon? Jika saja kaki sialan ini bisa digunakan, hyung pasti kesana," ucap Namjoon sembari tersenyum lembut.
Jungkook menunduk saat melihat tatapan kosong Namjoon. Kemudian menoleh ke arah Jimin dan Taehyung dibelakangnya. Dapat dilihatnya mereka berdua tersenyum kecut.
Semua orang terkejut, semua orang menyesal. Hanya karna dibutakan oleh ego dan kesalah pahaman, mereka melakukan hal yang salah.
"Ibu baik Hyung. Hyung pasti sembuh," kemudian Jungkook meraih jemari Namjoon dan menggenggamnya erat. Begitu juga dengan Taehyung dan Jimin. Mereka juga mendekat dan memeluk mereka.
Namjoon tau. Hidupnya tidak akan sama lagi. Banyak hal yang telah dia rencanakan akan hilang begitu saja. Tapi, satu yang sangat dia syukuri. Temannya, tidak pergi. Mereka mssih disini. Menemaninya.
END
AKHIRNYA!! Udah sebulan lebih draf ini tau!! Untung selesai dengan ending kurang memuaskan. IYA KAN?!!
KAMU SEDANG MEMBACA
[1]LIMBO✅
Fanfictionooh, but this is all that I am I only show you the best of me, the best of me Ooh, tryin', but I'm just a man Hopin' it won't get the best of me, the best of me - song by keshi DRABBLES OF BANGTAN