7. Apocalypse

1.7K 294 25
                                    

*Play the song 👏

Jeno terus berjalan dan berjalan. Tidak mengindahkan kakinya yang mulai gemetaran kelelahan. Menyusuri pinggir jalan di kegelapan malam. Sama sekali tidak takut meski suasana luar biasa sepi dan temaram.

Sesekali ia akan mengetuk tiang lampu jalan dengan lempeng besi yang tak sengaja ia temukan saat tersandung tadi. Denting logam yang beradu memasuki rungunya. Kencang namun rasanya ia tuli, bergaung sia-sia memasuki rongga telinga, netra hanya menatap lurus ke depan.

Sepertinya sudah lebih dari tiga kilometer ia melangkah. Ditemani mobil yang sesekali lewat mengklakson dengan lampu sorot kuningnya.

Tak jauh di depan terdapat plang yang menunjukkan arah ke salah satu pantai. Pantai yang sering ia kunjungi bersama Jaemin dulu.

Jeno terus berjalan. Mengikuti plang itu yang menunjuk ke kiri. Lalu berjalan di tengah-tengah layaknya itu jalan miliknya sendiri. Toh, tidak ada orang waras yang akan menuju pantai di tengah malam. Kecuali satu orang, yang Jeno tahu betul pasti berada di mobilnya, berkeliaran tak tentu arah sambil menghisap sebatang tembakau mematikan menemani kelam.

Seratus meter kemudian ia sampai pada pintu masuk pantai. Gelap. Hanya kerlipan lampu dari penginapan yang berjejer di kejauhan yang menerangi lokasi itu.

Pantai itu sebenarnya ada pos tiket masuknya. Namun sang penjaga tentunya sudah terlelap di pos jaga. Lagipula siapa yang akan mengunjungi pantai pukul setengah dua malam?

Jeno seorang. Kalau dulu, berdua dengan Jaemin.

Ia masuk begitu saja. Mencopot sepatunya begitu menginjak pasir. Tekstur butiran halus yang bergeser ketika dipijak itu menyambut Jeno hangat. Menyelimuti kedua telapak kakinya lembut, familiar.

Ia menyugar rambutnya, terus berjalan sampai hampir ke pinggir laut lalu duduk disana. Memeluk lututnya sambil menyandarkan dagu ke atas tempurung keras itu. Surai hitamnya dihembus angin, bergerak pelan dan diterangi temaram cahaya bulan.

Debur ombak yang terdengar di kejauhan membawa kembali satu memori spesifik saat ia sudah lulus. Dua puluh dua tahun. Enam tahun lalu.


"Jen, kalau misalnya kau mati kau mau mati dengan cara seperti apa?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Jaemin itu membuat Jeno kaget. Dia yang tengah berbaring di atas pasir sambil bergandengan tangan dengan laki-laki itu sontak menegakkan tubuh.

"Kau terlalu stress ya sampai bertanya seperti itu?"

Jaemin terkekeh. Ia meremat tangan Jeno sebelum menarik tubuh laki-laki itu untuk kembali berbaring di sebelahnya.

"Aku hanya bertanya. Jawab saja."

Jeno meresponnya dengan bahu terangkat, "seandainya bisa memilih, aku mau mati saat tidur saja. Damai dan tidak menyakitkan."

Jaemin mendengung, mengiyakan perkataan laki-laki itu, "benar juga. Ditembak dan ditusuk mengerikan dan rasanya menyakitkan. Melompat dari ketinggian juga menyakitkan, belum pasti mati juga. Gantung diri lebih menyiksa."

"Sedangkan terkena penyakit berbahaya membunuhmu perlahan."

Jeno menepuk dahi Jaemin, "tuh kau sadar! Stop smoking!"

HIRAETH || JAEMJEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang