03. Bait Terpahit

185 56 8
                                    

“Kamu masih sulit ngelupain, Raja?” Suara bunda membuyarkan lamunan ku.

Apa yang bunda tanyakan tadi bukan lagi suatu hal yang harus ada jawaban nya untuk saat ini. Bunda sangat tahu jika aku masih sangat sulit untuk melupakan Raja, atau mungkin sampai kapanpun aku tidak pernah berniat untuk melupakan lelaki itu.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Jujur, tenggorokanku sedikit sakit karena demam. Sudah hampir 2 hari ini aku mengalami demam akibat pulang ke rumah dengan keadaan hujan-hujanan. Insiden untuk meneduh beberapa lama di depan kedai kemarin lusa itu nyatanya hujan tidak reda sampai malam, alhasil aku nekat menerobos.

“Aku.. kangen dia bun.” cicitku pelan.

Suaraku sedikit bergetar, aku hampir tidak mampu melanjutkan kalimatku akibat air mata yang mendesak ingin keluar setiap aku membahas Raja.

Ingatan tentangnya kembali berputar di kepalaku, seperti kilasan memori yang di mainkan bak potongan film di depan mata kepalaku sendiri.

Raja yang biasanya akan datang ke rumah untuk menemaniku yang sedang sakit. Dia yang akan mengomel panjang lebar karena aku yang tidak mau minum obat, tambah lagi karena aku yang sakit karena kesalahanku sendiri. Bunda tidak pernah mengomel atau marah padaku saat sakit, yang lebih rewel malah Raja. Raja itu bukan tipe orang yang sabaran saat melihat tingkah lemot ku ketika sakit, dia gampang geregetan.

Bunda tersenyum sambil mengusap kepalaku. Ajaibnya, semua kilasan memori itu seketika memudar lalu tergantikan dengan dinding polos berwarna pink khas kamarku.

Aku di seret paksa ke realita.

“Kangen itu wajar, mungkin Raja disana juga kangen sama kamu disini. Inget kata-kata bunda, tugas kamu disini itu cuma harus kuat dan menerima. Percaya sama Allah kalau semua bakal baik-baik aja. Kamu sama Raja pasti udah tau kalau hubungan kalian memang dari awal sudah sulit kan? Saingan kamu itu bukan lagi hal yang biasa dalam hubungan, tapi ketentuan Tuhan..”

Perkataan bunda membuat hatiku mencelos, sakit sekali rasanya.

Tidak hanya aku, bahkan semua orang pun pasti tahu akhir dari hubungan yang dari awal sudah berbeda itu akan selalu menyakitkan seperti ini. Apa yang tadi di katakan bunda memang benar. Saingan kami itu bukan lagi hal yang biasa dalam suatu hubungan, melainkan sudah ketentuan Tuhan. Aku yang sebagai manusia biasa ini tidak berhak melewati batas.

Setelah meletakkan makanan dan juga obat untukku, bunda beranjak pergi keluar.

“Kenapa susah banget buat aku berhenti mikirin kamu, Ja? Aku capek.” ucapku.

Apa mungkin ini memang sudah saatnya untuk aku melupakan dia yang selama ini tanpa sadar selalu ku tunggu kepulangan nya? Rajendra Mahastra dengan segala hal yang ada pada dirinya, tanpa sadar membuatku jatuh terlalu dalam.

Seperti bunga krisan yang cantik tapi juga menjadi simbol akhir dari segalanya. Mencintainya itu adalah suatu kesalahan termanis yang sedang aku lakukan.

 Mencintainya itu adalah suatu kesalahan termanis yang sedang aku lakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅡBersambung..

Rajendra || Huang Renjun [TAMAT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang