9. Danilla Arsinta

141 81 27
                                    

"Terlalu banyak harapan yang engkau berikan, sampai lupa kita hanya sebatas teman."

******

Danilla menunggu Adrian yang sedang berlari mengelilingi lapangan di komplek rumahnya sembari duduk di kursi taman dan memakan bubur ayam. Minggu paginya diganggu oleh abangnya yang mengetuk pintu kamarnya dengan brutal di pagi buta.

Hanya dengan sogokan es krim rasa vanilla 2 kotak yang akan memenuhi kulkas ia rela bangun pagi untuk joging. Sebenarnya yang olahraga hanya Adrian, sedangkan dirinya asyik mencari sarapan dan jajanan yang diperjualbelikan di taman yang mendadak berubah menjadi seperti pasar karena banyaknya pedagang yang berjualan.

Ada seorang anak kecil cowok, kalau Danilla tebak mungkin baru berusia sekitar 6 tahun menangis di depannya. Danilla bingung ingin melakukan apa karena saat mengedarkan pandangan untuk mencari siapa orang tua yang tega meninggalkan anak ini beberapa pasang mata mulai melihat ke arahnya.

"Mbak, mbok ditenangin adeknya biar gak nangis!" Kata seorang ibu-ibu yang mulai terganggu dengan suara tangis anak di hadapannya.

Danilla semakin bingung dibuatnya. Ia tidak pernah bersinggungan dengan anak kecil, jadi ia tidak tahu bagaimana cara untuk membuat anak kecil ini berhenti menangis. Wajahnya mulai memerah karena terlalu lama menangis.

"Dek, kakak ada bubur ayam ini." Danilla mencoba berkomunikasi dengan anak tersebut. Anak itu melihat ke arahnya sekilas, kemudian tangisnya semakin kencang.

"Eh. Kok makin kencang?! Gimana ini?" Danilla menggaruk keningnya pelan.

"Kakak beliin jajan yok!" Ucapnya merayu anak itu supaya berhenti menangis.

Berhasil. Anak itu berhenti menangis dan mengusap kedua matanya yang masih mengalirkan air mata dan berjalan ke arahnya.

"Nah gitu, mbak! Adeknya nangis kok dibiarin!" Gerutu ibu tadi.

'bisa diem gak sih ibu ini!' ucapnya dalam hati.

"Mau permen yang disana!" Kata anak itu menunjuk Abang yang berjualan permen kapas.

"Namanya siapa, dek?" Tanya Danilla.

"Bayu" jawabnya dengan suara pelan dan serak.

"Ya sudah. Ayo! Tadi kesini sama siapa?"

"Sama mas. Dia ilang!" Ucapnya dengan suara bergetar ingin menangis lagi.

"Eh. Sudah jangan nangis lagi! Kan sudah kakak beliin permennya." Suara Danilla ikut bergetar karena ketakutan. Pasalnya ia sendiri tidak pernah berbaur dengan anak kecil sejak orang tuanya meninggal. Dengan keluarga dari ayah dan ibunya pun berkumpul.

Terdengar suara seseorang yang berlari ke arahnya diiringi dengan suara napas yang tidak beraturan. Berhenti di depan anak kecil tadi.

"Mas cariin daritadi, dek!" Ucapnya sambil mengusap rambut adeknya sayang.

Sadar jika adiknya ini tidak sendiri, cowok tersebut menoleh ke arahnya, "Danilla kan?" Tanya cowok tersebut.

"Iya"

"Makasih banget udah amanin adekku. Daritadi udah muterin lapangan gak ketemu." Jelasnya.

"Iya, San"

"Eh. Berapa ini gula-gulanya?" 

"Udah gak usah diganti. Ikhlas kok."

"Terima kasih sekali lagi." Danilla hanya menganggukkan kepala.

"Aku kesana lagi ya. Dijagain adiknya jangan sampai kejadian lagi kayak gini!" Ucap Danilla yang ingin kembali ke kursi yang semula didudukinya tadi.

Melawan ArusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang