BAB 22: Jalan Untuk Pulang

2.1K 390 9
                                    


LIM

One mendatangi kubikelku, ketika aku baru saja menaruh tas di atas kursi. Dia mengulurkan sepucuk amplop kepadaku. One tidak berkata apa-apa, sampai aku menerima amplop berwarna putih susu itu.

"Apa ini?" tanyaku. Aku mengangkat amplop itu ke atas, menerawangnya. Dari apa yang kulihat, isinya uang tunai.

"Komisi," jawab One sembari pergi meninggalkanku. Tampaknya, komisi yang dimaksud One adalah bayaran untuk kepergianku ke Semarang beberapa hari lalu. Sejujurnya, komisi ini bukanlah target yang kuinginkan. Kepergianku ke Semarang murni ingin mengajak Dei berlibur.

Kuangkat lagi amplop itu, kugerakkan ke kanan dan ke kiri. "Terima kasih!"Meskipun aku berteriak, One pura-pura tak mendengar. Kuangkat bahu kananku sebagai gestur tak peduli.

Aku memainkan amplop di tanganku, memandangnya sekali lagi. Dalam otakku ketika melihat amplop ini adalah Dei. Aku berpikir, bagaimana kalau kutraktir dia dengan komisi yang kudapatkan ini.

Pagi tadi, setelah sarapan Dei kembali beristirahat dan aku berangkat ke kantor. Kukatakan padanya, sepulang kerja akan datang ke apartemennya. Tentunya, aku memperingatkan dia untuk tidak lupa makan siang agar kesehatannya cepat pulih. Kalau tidak, aku mengancamnya akan membawanya ke rumah sakit.

Menanggapi ancamanku, Dei hanya tertawa.

Aku merogoh saku celana, mengeluarkan benda pipih dari sana. Kufoto amplop yang tergeletak di atas meja, kemudian kukirim ke Dei. Pesan tersebut masuk, tetapi Dei belum membacanya. Lalu, kuketik beberapa pesan kepadanya.

Sepulang kerja, aku ke apartemen. Kau mau makan apa?

Pesan tersebut juga terkirim. Lagi-lagi, Dei belum membacanya. Kukira dia masih tidur di kamarnya, meringkuk malas di bawah selimut. Kuharap Dei baik-baik saja, kalau tidak, aku akan merasa bersalah karena membuatnya kelelahan selama di Semarang.

Pada akhirnya, Dei membalas pesanku ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Nampaknya, dia baru bangun tidur. Akupun melakukan panggilan video dengannya. Dengan cepat, Dei menerima panggilan videoku.

Di layar ponselku, muncul wajah Dei. Rambutnya kusut masai, matanya belum terbuka dengan benar dan berkali-kali Dei menguap. Tapi, kulihat Dei tersenyum menyapaku. Aku membalasnya dengan hal yang sama.

"Kau tidak kerja?" tanya Dei. Kini, kameranya bergerak tak beraturan. Sepertinya, Dei sedang berjalan ke suatu tempat. Beberapa detik kemudian, kameranya kembali normal dan menampakkan dapur Dei. Nampaknya, ponsel Dei ditaruh di atas meja dapur, sebab kulihat perempuan itu sedang mondar mandir di sana.

"Sedang istirahat," kataku. Jam istirahat kantor pukul dua belas siang, kurang satu jam lagi. Tidak ada bedanya, bukan?

"Kau baru bangun?" tanyaku. Dei mendekat ke arah ponselnya.

"Ya," katanya. Dei meminum air mineral dari gelas.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku lagi. "Masih demam?" Dei menggerakkan tangan kanannya, diarahkan ke dahinya.

"Sudah lebih baik," jawabnya. "Omong-omong, amplop apa tadi?" tanyanya.

"Komisi ke Semarang," jawabku. Kulihat Dei hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Kau mau makan apa nanti malam?"

"Apa saja, Lim," sahutnya. "Aku sudah terlalu merepotkanmu."

"Tak masalah. Kau sudah menemaniku ke Semarang," kataku lagi. Aku menguap. "Baiklah, segeralah makan. Sampai ketemu nanti malam."

"Oke," sahutnya. "Selamat bekerja, Lim."

Aku mematikan sambungan video call.

***

MADEIRA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang