BAB 15: Batasan-Batasan

2.5K 375 8
                                    


LIM

Dei sama sekali tak membahas mengenai sentuhan kami malam itu. Akupun tak berniat untuk membahasnya. Kubiarkan hubungan kami berjalan seperti air hujan jatuh pada dedaunan, kemudian meluncur bebas ke atas tanah dan meresap. Seharusnya, aku menegaskan hubungan kami. Seharusnya, aku memperjelas hubungan kami. Kami tak sekadar kawan lama yang bertemu kembali, tetapi lebih dari itu. Atau justru, aku adalah satu-satunya orang yang menganggap demikian.

"Seharusnya tidak seperti itu, 'kan?"

Dei menatapku dengan kedua matanya yang polos. Bibirnya sedikit terbuka, kedua alisnya membentuk gelombang kecil. Pertanyaan yang terlontar dari mulutku barusan merupakan ungkapan dari pikiranku sendiri, tentu saja Dei kebingungan.

"Apa?" tanyanya.

Kami sudah sampai di Semarang. Di luar langit masih gelap, adzan subuh belum terdengar. Aku dan Dei masuk ke kedai kopi di stasiun kereta, memesan dua cangkir kopi panas dan dua roti rasa kopi. Kami duduk berhadapan, kedua tangan Dei memeluk cangkir kopi mencari kehangatan, sedangkan aku sibuk memeriksa bahan untuk kelas hari ini.

Sebenarnya, kelas yang diadakan Mata Jawa hanya formalitas untuk memperkenalkan redaksi ke penggiat kepenulisan di Semarang. Sehingga, isi kelas nantinya hanya berisi bagaimana aku menjadi jurnalis olahraga, kegiatan yang kulakukan secara outdoor, menulis dan semacam itu.

"Apa maksudnya dengan seharusnya tidak seperti itu?" Dei masih menuntut jawaban atas kalimat yang tak sengaja aku lontarkan. Aku sendiri kebingungan harus berkata apa, sebab pikiran itu muncul begitu saja.

Kulirik jam tangan pada layar laptop, masih pukul empat pagi. Selang beberapa detik terdengar adzan subuh dari mushola stasiun. Aku meraih cangkir kopi, kusesap sedikit, kemudian kembali menekuri layar laptop.

Dei mengetuk meja dua kali. "Lim, kau berutang penjelasan kepadaku."

"Lupakan saja, aku asal bicara," sahutku. Dei mendengus, dia melihat ke luar ke arah keramaian stasiun kereta. Orang-orang berlalu-lalang, suara pengeras suara, suara kereta datang dan pergi. Aku mengalihkan perhatianku dari laptop, kemudian melihat ke arah Dei. Perempuan itu mengikat sedikit rambutnya, menyisakan anak rambut di tengkuknya. Dia serius menatap ke arah keramaian, sembari sesekali menyesap kopinya.

Sejujurnya, aku penasaran dengan isi pikiran Dei saat ini. Apakah dia masih memikirkan Nick? Sejauh apa hubungan mereka berdua? Lalu, bagaimana bisa Dei menjadi simpanan lelaki berengsek itu? Memikirkannya saja membuatku marah. Tapi, lucunya aku tak bisa memarahi Dei atas perbuatannya.

"Apa ada yang istimewa dari orang-orang itu?" tanyaku. Pada akhirnya, aku bertanya.

"Hmm?" Dei menoleh ke arahku.

"Orang-orang di luar sana, seakan punya hal istimewa sampai-sampai kau memandangnya seperti itu." Aku melihat ke arah luar, kemudian kembali menatap Dei. "Tak ada yang setampan aku, Dei." Dei tergelak. Bagus. Aku suka melihatnya tertawa daripada harus melihatnya melamun.

"Aku hanya mengantuk," jawabnya, setelah selesai tertawa. "Kopi ini tak membantu sama sekali." Dia mengangkat cangkirnya, kemudian menandaskan sisa kopinya.

"Ckck. Kau di kereta tidur terus, Dei. Bagaimana bisa sekarang kau bilang mengantuk?" ledekku. Dia hanya tertawa.

"Omong-omong, kau tak apa-apa?" Dia memandangku. "Persentasimu jam sepuluh, 'kan?" Yang dia maksud di kereta aku sama sekali tidak bisa tidur, dengan kata lain sejak semalam aku belum tidur sama sekali. "Kau salah memilih waktu keberangkatan. Seharusnya kita berangkat pagi, Lim."

Ingin rasanya aku menjawab bahwa hanya kereta malam yang memiliki dua kursi kosong bersebelahan, agar aku bisa duduk berdua dengannya. Tapi, kursi itu justru dia berikan kepada ibu-ibu tak tahu diri itu. Tentu, aku tak mengatakannya kepada Dei.

MADEIRA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang