BAB 11: Sejauh Mana Rahasiamu?

4.4K 536 25
                                    


DEI

Terkadang, kita tak bisa mencegah takdir terjadi atau membuat takdir tersebut berubah. Beberapa waktu aku ingin mengulang waktu untuk memperbaiki apa yang sudah terjadi. Lalu, aku menyadari bahwa sekuat apa pun keinginan tersebut, aku tak akan pernah mampu. Karena memang sudah ditakdirkan begitu.

Takdir telah membawaku ke masa ini, seperti ia menakdirkan apa yang terjadi hari ini. Seandainya saja aku bisa mengubahnya, mungkin semua akan baik-baik saja. Seperti yang selalu aku inginkan.

Siang itu, Lim datang ke Madeira, menculikku dari sana. Ia berkata ingin berbelanja beberapa bahan makanan untuk pesta kecil-kecilan yang ia adakan di apartemennya. "Sekadar mengenalkan diri, Dei," ia beralasan. "Kau harus mengenalkan diri untuk dikenal." Kami baru saja sampai di parkir basemen. Lim mematikan mesin mobilnya, melepaskan sabuk pengaman, kemudian berbincang sebentar denganku.

Aku mencibir mendengar alasannya. "Biar kutebak," kataku, "kau pasti mengundang teman-teman kantormu yang seksi. Ya, kan?"

Lim tertawa. "Kau benar," jawabnya, "aku hanya mengundang satu dua teman laki-laki. Sisanya, perempuan." Dia membuka pintu mobil, dan keluar. Aku melakukan hal yang sama.

"Kau bisa mengajak pegawaimu, Dei," katanya, ketika kami berjalan menuju mal. "Sabtu besok pasti menyenangkan," lanjutnya. "Aku lihai dalam menyambut tamu."

Aku tidak menanggapi kalimat Lim. Kami berjalan terus ke arah supermarket, kemudian aku mengambil troli. Lim menarik ujung troli, memintaku untuk mengikutinya.

Lim berhenti di rak makanan kaleng. Ia melihat segala macam makanan dalam kaleng di depannya. Ia mengambil dua kaleng jamur kancing, tiga kaleng kornet, lima buah kaleng ikan sarden, dan dua kaleng buah ceri. Aku sama sekali tidak punya bayangan, apa yang akan ia buat nantinya.

Aku jarang masak, kebanyakan beli di luar. Masakan yang bisa kumasak hanya mi instan – dengan berbagai variasi – dan nasi goreng sosis. Di luar itu, aku sama sekali tak tahu. Bahkan, membuat sayur sop saja tidak bisa.

Kemudian, kami beralih ke rak sayuran dan buah. Lim membeli tomat, wortel, paprika, dan beberapa sayur lainnya.

"Sebenarnya, kau mau masak apa, Lim?" tanyaku. Saat ini, kami sudah berada di stand daging. Ia memilih daging dengan teliti. Harusnya, aku yang mengerti hal semacam ini, tapi justru Lim lebih ahli.

"Datanglah Sabtu besok, kau akan tahu," jawabnya sembari memamerkan giginya.

"Sok misterius!" sahutku.

Lim hanya tertawa saja. Dia terus saja menimbang-nimbang mana daging yang bagus, mana yang tidak. Aku sendiri melihat sekeliling supermarket sekadar membunuh waktu, kemudian mataku menangkap sosok tak asing yang berdiri tidak jauh dari kami.

Mendadak, otakku beku.

Nick berdiri bersama seorang perempuan dan anak kecil. Mereka berdiri di depan stand kue tar. Jarak kami hanya terpisah oleh beberapa stand saja. Lim berkata sesuatu mengenai daging di tangannya, tapi aku sama sekali tak menanggapi .

"Kita pulang, ya?" ujarku, cepat. Takut-takut aku melihat ke arah Lim. "Tiba-tiba sakit kepala. Migrainku kambuh."

Sejenak, Lim terlihat ragu, kemudian ia mengangguk. "Oke."

***

LIM

Dei berjalan dengan tergesa sembari mendorong troli. Aku mengikuti langkah Dei tanpa bertanya lebih lanjut mengenai migren yang tiba-tiba tersebut. Kami segera mengantre ke kasir untuk membayar beberapa barang belanjaanku.

MADEIRA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang