Empat Belas

11.8K 549 50
                                    

Prilly sampai di depan rumah, tapi ia masih menangis di dalam mobil Ali. Ali merasakan sakit atas Prilly yang menangis terus menerus. Satu kenyataan yang ia sadari membuatnya sungguh sesak bahwa Prilly benar-benar mencintai dirinya dan... Rasya.

Ali berusaha tersenyum di hadapan Prilly. Gadis itu masih menangis, menutup wajahnya dengan tangannya yang mungil. Ali meraih kedua tangan itu dan terlihatlah muka cantiknya telah berantakan. Matanya merah. Ali menggenggam kuat tangan itu.

“Berhenti nangis, Ly. Jangan kayak gini.” Ali menatap mata Prilly lembut. Ada luka dalam mata gadis itu, namun Ali tak ingin membicarakannya.

“Aku nggak ngerti dengan kejadian hari ini, Li. Apa yang salah? Apa?!” sentaknya.

Ali menangkup wajah Prilly dengan tangannya. “Ssttt... Nggak ada yang salah, Ly. Ini...”

Prilly menepis tangan Ali dengan kasar. “Nggak ada yang salah gimana, Li? Rasya... Rasya meninggal, Li! Ada kesalahan di sini!”

Ali menggenggam tangan Prilly lagi. “Di mana letak kesalahannya? Kamu nggak salah terhadap meninggalnya Rasya. Rasya meninggal karena sakit, Ly. Dan dia juga nggak menginginkan ini. Oke?”

Prilly menangis semakin kencang. Ia menghambur ke pelukan Ali, lantas menangis lebih kencang dalam pelukannya. Ali tidak bisa apa-apa selain mengusap punggung gadis yang dicintainya itu.

"Ly, lo harus kuat. Rasya udah nggak ada, kalo lo menangisi dia nanti dia nggak akan bisa tenang. Dia akan susah untuk pergi. Lo harus tenang."

Prilly terisak. "Gue nggak bisa, Li. Gue nggak ngerti kenapa Rasya kayak gini. Kenapa dia ninggalin gue? Kenapa... Kenapa dia..."

"Cukup, Ly. Lo nggak harus nanya apa-apa sekarang. Lo hanya perlu liat isi CD itu. Mungkin di situ Rasya akan jelasin sesuatu sama lo."

Pelukan pada Ali semakin erat. Prilly tidak bisa membendung air matanya. Air mata itu mengalir sangat cepat dan deras membasahi pipi Prilly yang tembem.

"Maafin aku ya, Li. Aku bener-bener minta maaf ke kamu." Prilly melepaskan pelukannya.

Ia menatap Ali sejenak, lalu membuka pintu mobil. Dengan cepat Ali menahan tangannya. Prilly menoleh pada Ali. Ali tersenyum kepada Prilly, meraih kedua pipi tembem Prilly dengan kedua tangannya, lantas mengecup kening gadis itu lembut dalam beberapa detik. Tangis Prilly tanpa diisyaratkan mengalir kembali.

“Jangan menangis lagi. Please,” pinta Ali dengan suara serak. Terdengar nada sakit dari suaranya. Ia beralih mencium punggung tangan Prilly.

Gadis itu segera menarik tangannya dan keluar dari mobil Ali tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Air matanya sudah hampir habis. Ia tidak sanggup melihat Ali yang tersiksa karena tangisannya terhadap Rasya.

Prilly berlari masuk ke rumah tanpa melihat Ali lagi di belakangnya. Seisi rumah sedang pergi ke rumah nenek sehingga Prilly tidak harus bersembunyi dengan tangisannya. Ia berjalan ke kamarnya di lantai dua dengan tangis yang tak henti-hentinya menghiasi pipi.

Ia menutup pintu kamarnya pelan. Setelah mengunci rapat-rapat, Prilly jatuh terduduk membelakangi pintu. Hatinya sesak, bahkan jauh lebih sesak dari saat Rasya membawa Aurel ke hadapannya.

"Ini menyakitkan, Sya! Sakit! Sangat sakit! Di mana hati lo? Wrong! Di mana gue saat lo membutuhkan gue?! Wrong! Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua ini? Sepertinya ada yang salah dengan kita, Sya!" Prilly menelungkupkan wajahnya ke dalam lututnya sendiri.

Beberapa menit lamanya, ia menangis tanpa bersuara. Ia melirik tasnya. Di dalam tas itu berisi CD pemberian Rasya. "Harus gue tonton CD itu, Sya? Adakah jawaban atas semua pertanyaan gue? Apa hal yang akan gue liat di dalam situ nggak akan membuat gue sakit, Sya? Lo bisa jamin apa?! Apa?!" teriaknya penuh amarah. Ia menjambak rambutnya frustasi.

Glimpse Of Love (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang