Indahnya Saling Memaafkan

3 0 0
                                    

Oleh: Inayatul Mardiah

Gema takbir memenuhi langit, membuatku terbangun dari mimpi indahku. Segera ku mandi dan kupakai baju baru yang dijahitkan ibu. Putih, sebagai pertanda ketulusan hatiku, kata ibu.

Ini kali pertama aku merayakan idul fitri tanpa kehadirannya, ibu pergi dari rumah 10 hari sebelum hari raya. Ibu tak sanggup lagi harus berdebat dengan ayah, apalagi saat bulan ramadhan. Keputusan ibu membuat diri ini sedih. bagaimana tidak, sudah bertahun-tahun kami bersama. Ayah, ibu dan aku. Dan sekarang hanya tinggal kami berdua.

Ayah juga terlihat begitu terpukul semenjak kepergian ibu. Mungkin ayah merasakan hal yang sama seperti yang kurasa. Ibu... 'kumohon pulanglah kemari bersama kami, agar keluarga kita menjadi keluarga yang utuh'.

Segera kulangkahkan kaki ini menuju masjid yang jaraknya lumayan dekat dengan rumah kami. Terlihat tepat di depanku ayah yang juga ingin menunaikan salat ied.
'Semoga setelah ayah selesai beribadah ayah dapat tersenyum kembali setidaknya'.

Sholat ied berjalan begitu khusyuk. Kebahagiaan terpancar dari wajah setiap orang. Tua, muda berkumpul menjadi satu kesatuan. Masjid dan pelatarannya tidak menyisakan tempat luang. Sanak saudara dari luar berdatangan. Dan hanya keluargaku yang terpuruk sendirian.
Sholat ied telah usai, seluruh jamaah pun pulang menuju kediaman mereka, termasuk juga aku.

Air mata ini tak dapat kubendung, aku sangat kehilangan sosok yang menyayangiku, ibu. Apalagi di hari yang suci.
Tiba-tiba dari belakangku ayah muncul dan memelukku. Ayah merasa kesedihan yang keluarga kami lalui adalah salahnya. Dengan berlinangan air mata, Ayah meminta maaf kepadaku atas keegoisannya selama ini. Tak pernah sedikitpun aku kira, Ayah yang begitu keras terhadapku menangis tersedu-sedu dan minta maaf. Apa ini benar Ayah? Ataukah dia malaikat yang dikirim Allah untuk menghilangkan segala kesedihanku? Entahlah, aku harap Ayah akan selalu seperti ini.

Ketika aku dan ayah hanyut dalam suasana yang penuh haru, terdengar bunyi bel di rumah kami. Segera kami bergegas untuk membuka pintu. Tak kuduga dan sangka, ternyata yang datang adalah Ibu. Aku dan Ayah benar-benar bahagia, begitu juga ibu. Kami bertiga saling berpelukan dan mengakui kesalahan. Ibu telah memaafkan kesalahan Ayah, begitu pula aku dan ayah kami memaafkan ibu.

Kumpulan Cerpen RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang