Sajadah Biru

2 0 0
                                    

Oleh: Luthfia Zahra Larosa

Nenekku adalah panutan yang baik. Panutan bagi anak cucunya, termasuk bagiku aku. Nenek adalah orang yang hebat, jarang mengeluh dan tentunya wanita yang sungguh istiqamah. Semenjak ayah dan ibuku meninggal akibat kecelakaan, aku selalu belajar banyak hal bersama nenek. Saat aku masih kecil, aku sering dikatai dengan sebutan 'gadis gendut'. Mengetahui hal itu, nenek pun kemudian kerap mengatakan "Gendut perut gak masalah, asalkan gak gendut dosa", padaku sambil terkekeh. Hingga saat aku duduk di bangku SMP dan Ramadhan tiba. Nenek berkata, "Sekarang kamu sudah SMP, Yu. Ramadhan bulan ini harus kamu gunakan sebaik mungkin. Kumpulkan pahala sebanyak-banyaknya." Aku hanya mengangguk pelan atas perkataan nenek.

Malam Ramadhan saat itu, menjadi momen yang sangat tidak kusukai, karena harus melaksanakan shalat Tarawih di masjid. Berat sekali kaki ini melangkah keluar rumah. Duh, bukankah wanita sebaiknya di rumah saja? Namun apa dayaku yang melulu dipaksa oleh nenek untuk beranjak melaksanakan tarawih. Sesekali aku menolaknya dengan alasan pusing.

Hari demi hari Ramadhan itu kulewati. Kian lama aku pun tak tega dengan nenek yang harus pergi keluar rumah sendirian untuk menuju masjid. Kira-kira nenek memerlukan waktu 7 menit untuk sampai di masjid tersebut. Alhasil, aku pun bertekad untuk tidak meninggalkan tarawih dari hari itu, meski Ramadhan sudah akan berakhir.

Malam itu, aku keluar dari kamarku, menjumpai nenek. "Nek, shalat tarawih kan hari ini?", tanyaku. "Iya. Ayu mau shalat sama nenek hari ini?", tanyanya balik. Senyuman kecil merekah di wajah keriputnya. Aku mengangguk pelan. "Wudhu dulu lah sana", perintahnya. Lagi-lagi aku mengangguk. Saat aku hendak berwudhu, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku. Aku panik dan segera memeriksa kondisi diri. Dan ternyata aku haid.

Dengan langkah gontai aku menjumpai nenek kembali. Tampak nenek yang sudah siap dengan sajadah birunya yang tampak usang, namun sebenarnya bersih kok. "Pakai terus mukenanya, Yu", ujar nenek saat melihatku datang. "Nek, aku gak jadi ikut tarawihan lagi, nih malam ini...". "Lah kenapa?", tanya nenek. Tampak raut wajahnya mengungkapkan kekecewaan. "Aku haid, nek. Lain kali ya nek", jelasku pada nenek. Nenek pun kembali tersenyum dan bergegas meninggalkan rumah, sembari berkata, "Jangan pernah ninggalin shalat tarawih lagi, cucuku. Bulan suci ini kesempatan besar untuk mencari celah ampunan. Ingat pesan nenek, jangan gendut dosa. Jangan sampai buruk di mata Allah akibat gendut akan dosa. Nenek pergi dulu, Assalamu'alaikum...". Masih mencerna kata-kata nenek, aku pun tersadar dan segera menjawab salamnya, "Waalaikum salam, nek. Hati-hati di jalan."

Baru 3 menit berlalu, datanglah seseorang mengetuk pintu rumahku. TOK! TOK! TOK! "Assalamualaikum! Neng Ayuuu!", teriak orang itu. Aku tergopoh-gopoh memakai kaus kaki serta jilbab panjangku, lalu membukakan pintu. "Wa'alaikum salam. Ada apa, Mas?", tanyaku. "Itu nenekmu jatuh pingsan di jalan tadi! Mau shalat tarawih malah ngelihat nenekmu tertidur di jalanan!", jelasnya menggebu-gebu. Aku membelalakkan mataku, terkejut. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku seakan dihantam dirubuan batu. Jiwaku seakan sakit. "Di.. Dimana nenek? Be-beritahu aku!", tanyaku buru-buru. "Di antar ke RS Sentral Budi, Yu. Kamu nyusul saja!", jawabnya. Dengan segera aku menyusul nenek ke rumah sakit tersebut.

Dan ternyata suster mengabarkan padaku bila nenek meninggal dunia. Pelupuk mataku dipenuhi air mata. Setetes demi setetes mengalir di atas wajahku. Hancur rasanya hati ini. Siapa yang akan menjadi panutanku saat ini? Siapa yang hendak mengingatkanku untuk bersabar hati dan berbuat baik lagi? Tak akan ada lagi orang yang akan mendengar rentetan alasanku untuk menolak kebaikan yang diperintahkannya. Tak ada lagi... Yang akan mengingatkanku untuk shalat tarawih, menjadi wanita yang tak hanya bermalas-malasan di rumah. Nenekku dengan sajadah biru usangnya, senantiasa shalat, beribadah kepada Allah SWT, tidak akan kujumpai lagi. Hanya sajadah kosong nan sendiri yang akan kulihat.

Tiga Tahun berlalu semenjak nenek pergi. Sajadah biru itu menjadi satu hal yang utama untuk kubawa saat beribadah. Sajadah yang selalu berada di samping malaikat tua itu, nenekku. Menjadi saksi bisu pula akan doa-doa nenekku, dan menjadi sarana nenek memanjatkan harapan dan doanya pada Allah Yang Maha Kuasa. Meski begitu, aku tau jika nenek senantiasa mendoakan yang terbaik untukku, selalu berharap aku berubah tumbuh menjadi gadis yang sholehah. Dan sajadah biru itu, akan jadi album tak tertulis untuk ratusan doa nenekku dan dilanjutkan denganku. Kali ini, doakulah untuk nenek yang akan kubalaskan, selesai shalat, di atas sajadah biru. Bila Ramadhan menjumpaiku nanti, aku akan menyapanya dengan gembira dan nenek, aku tak akan meninggalkan shalat tarawih lagi. Pintu ampunan ada di depan mataku di bulan suci Ramadhan. Bersama sajadah birumu, aku akan menghadap Allah. Terimakasih telah mengajarkanku indahnya kebaikan hati itu. Terimakasih, Nek.

Kumpulan Cerpen RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang