perasaan

710 138 12
                                    

Setelah pagi tadi acara akad yang dihadiri oleh semua tamu undangan dan para orangtua, malam harinya khusus anak muda teman-teman kedua mempelai juga rekan-rekan di kantornya.

Raksa yang sebenarnya sudah amat lelah memaksakan tersenyum demi menyambut tamu mereka.

"Mas, bos aku dateng." Elina, wanita bergaun cantik yang sudah resmi menjadi istrinya itu memberitahu.

Raksa beranjak berdiri, bos yang disebut istrinya itu adalah atasannya juga di kantor. Elina menjadi sekretaris untuk pria yang beberapa tahun lebih tua darinya itu.

"Selamat untuk kalian."

"Terimakasih Pak Delmar," ucap Raksa menyalami pria itu.

"Selamat Elina." Pria bernama Delmar itu tersenyum pada sekretarisnya.

Elina sempat tertegun beberapa saat, tatapan keduanya bertemu. Perempuan itu lalu mengangguk. "Terimakasih, Pak," balasnya.

"Kamu masih mau kan bekerja untuk saya?"

"Ah, tentu saja." Elina berkata bahwa dia masih akan tetap bekerja meskipun sudah menikah, karena dia adalah wanita yang tidak betah diam di rumah.

Raksa merasa ada yang aneh dari interaksi keduanya. Pandangan pria itu mengarah pada jabatan tangan mereka yang tidak juga terlepas, hingga perempuan berrambut panjang yang adalah istri Delmar mendekat, barulah keduanya saling menjauh.

Namun tentu saja Raksa tidak mau merisaukan tentang hal itu, mungkin hanya perasaannya saja. Dia bahkan begitu dekat dengan Aruna dan istrinya tidak keberatan karenanya.

"Mas, aku mau temuin temenku dulu yah." Elina menunjuk kerumunan wanita yang melambaikan tangan pada perempuan itu.

Raksa mengangguk, dia lalu menoleh pada kedua sahabatnya yang berdiri di dekat prasmanan.

"Nuna mana?" Entah kenapa gadis itu yang ia cari saat kehadirannya tidak tampak di antara mereka.

Bian yang sibuk mengunyah potongan buah menunjuk ke arah Aruna yang tengah duduk di sudut ruangan.

"Akhir-akhir ini dia rada aneh," ucap Arka, "kayaknya lagi dateng bulan," imbuhnya.

"Sok tau, tanggal berapa ini dateng bulan. Dia mah dateng bulannya tanggal tua, sepaket sama belom gajian. Emosinya dobel." Bian meralat dugaan sahabatnya.

"Lah siapa yang sok tau, tanya aja Om Agung, kalo nggak percaya." Arka menyebut nama ayah dari gadis itu.

"Kalo jadwal dateng bulan Tante Alya mah pasti apal, anaknya mah nggak tau dia." Bian tertawa saat mengutarakan kalimatnya. Wanita yang ia sebutkan namanya itu adalah ibu dari sahabat perempuannya.

Raksa ikut tertawa pelan, sebagai satu-satunya perempuan di antara mereka, Aruna memang menjadi pusat perhatian untuk ketiganya.

Persahabatan orangtua mereka yang hingga saat ini masih terjalin dengan erat, membuat anak-anaknya pun mengikat persahabatan yang sama, meski Aruna berbeda karena seorang wanita. Tapi mereka tetap menyayanginya.

Tak jarang, ketiganya sering ditinggalkan oleh pacar masing-masing karena merasa cemburu pada gadis itu. Tapi tentu saja mereka tidak peduli, pacar yang putus bisa dicari lagi, sedangkan Nuna adalah sahabatnya sejak bayi.

Raksa mendekati Aruna, mengagetkan gadis itu saat dia menyentuh pundaknya. "Kamu ngapain di sini?"

Aruna yang sempat menoleh, kembali mengarahkan pandangannya ke tempat lain. "Aku ngantuk," balasnya asal.

Raksa tersenyum, tangannya bergerak mengusap puncak kepala gadis itu yang dibalut hijab pashmina. "Udah makan?" tanyanya.

Aruna mengangguk, dia berharap pria itu segera pergi dari hadapannya. Dia benar-benar ingin menangis.

Raksa mengambil kursi di sana, kemudian duduk saling berhadapan dengan gadis itu. "Nuna?"

Aruna menghela napas. "Apa sih?" tanyanya lemah, perempuan itu memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya.

"Kita masih temenan kan?"

Pertanyaan itu membuat Aruna tertegun, belum sempat dia menjawab, seseorang memanggil Raksa dan membuat pria itu menoleh. Setelah pamit pada sahabatnya, Raksa lalu beranjak pergi.

Aruna merasakan cairan hangat mengalir di pipi, dengan segera gadis itu menghapusnya. Dia tidak boleh terlihat sedih, dia tidak boleh seperti ini.

"Ayo pulang." Aruna menghampiri Bian yang tengah mengobrol dengan temannya.

Bian beranjak berdiri, sedikit mengerutkan dahi saat pandangannya menangkap wajah kusut Aruna. "Gue akhir-akhir ini sering liat lo nangis, kenapa sih?"

Aruna menghela napas, dia lalu melangkah keluar gedung meninggalkan pemuda itu.

"Nuna!" Bian mengejarnya, meraih tangan gadis itu hingga langkahnya terhenti.

"Aku cuman pengen pulang." Nuna berucap setelah membalikkan tubuhnya, gadis itu kembali menghapus airmata yang mengalir di pipinya.

Aruna pikir, dia akan kuat melihat Raksa yang bahagia dengan istrinya, tapi ternyata dia terlalu lemah untuk menyembunyikan perasaannya.

Bian mulai mengerti dengan keadaan sahabatnya. Sejak Raksa dikabarkan akan menikah, gadis itu selalu murung. "Lo suka sama Raksa?"

Aruna yang sudah terlepas dari cengkraman pemuda itu lalu berusaha menghindar dengan berbalik meninggalkan Bian. Namun ternyata Arka sudah berdiri di hadapannya.

"Aku cuma mau pulang." Aruna kembali berucap dengan menunduk, dia tidak ingin ditanya apapun untuk saat ini.

Dan tentu saja mereka mengerti, sebagai orang terdekat dari Aruna, keduanya seperti seorang kakak yang melindungi adiknya.

Aruna berpura-pura tidur saat mereka sudah berada di dalam mobil, dia belum siap jika mereka kembali bertanya mengenai perasaannya. Dan kedua pemuda yang duduk di kursi depan itu pun tampak diam saja.

"Loh, kalian kok sudah pulang? Kan masih sore." Seorang wanita paruh baya yang membuka pintu untuk mereka lalu bertanya.

"Iya, Tante Alya." Bian bingung harus menjawab apa. Pemuda itu menyikut Arka yang senyum-senyum saja.

"Arka, Bian. Makasih ya, aku masuk dulu." Setelah mengutarakan kalimat itu, Aruna setengah berlari masuk ke dalam rumah menuju kamarnya.

"Kalian mau mampir dulu?" Tawar Alya.

"Nggak usah, Tante. Udah malem." Arka yang menjawabnya.

Wanita itu tersenyum. "Terimakasih ya, sudah mengantarkan Alya pulang," ucapnya.

Keluarga Aruna memang selalu mempercayakan putrinya pada mereka, terlebih Raksa. Tapi sekarang Raksa sudah menikah, Alya tidak bisa membayangkan jika kedua pemuda itu pun menikah juga. Siapa yang akan menjaga putrinya di luar sana.

"Sama-sama, Tante Alya. Salam yah buat Om Agung. Kita pamit dulu."

"Nak Bian, Arka!"

"Iya, Tante?"

"Sekarang Raksa sudah menikah, penjaga putri tante jadi berkurang, kalian menikahnya kalo Nuna sudah menikah yah, biar anak tante ada yang jaga."

Permintaan itu mungkin terdengar bercanda, kedua pemuda di hadapannya juga hanya tertawa kecil untuk menanggapinya. Tapi harapan seorang ibu, tentu saja ingin yang terbaik untuk anaknya.

"Atau, kenapa bukan salah satu dari kalian saja yang menikahi putri tante, Nuna cantik kan?"

Bian dan Arka kembali tertawa, kali ini terdengar lebih hambar dari sebelumnya. "Tante bisa aja," ucap salah satu dari mereka.

Bian menyikut Arka untuk segera pamit pergi dari sana. Dengan sopan mereka mencium punggung tangan wanita itu, yang sudah mereka anggap seperti ibunya.

"Salam buat orangtua kalian."

***
Jangan nanya Om Ni dulu, lagi diketik ya wkwkwk makasih kalian udah mampiir ❤❤
















Kulepas Dengan Ikhlas (TAMAT Di KbmApp)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang