Yang Maha Benar

84 68 2
                                    

Kedua mata Silvi masih terjaga, walau hari sudah sangat larut malam. Di temani Agnis di sebelahnya, yang kini masih menatap beberapa kitab fiqih, salah satunya adalah kitab Fathul Mu'in yang merupakan kitab karangan Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. salah satu kitab salaf (kitab kuning) yg dikaji di kelas menengah mayoritas Pesantren di Indonesia.

"Mbak Agnis," panggil Silvi.

"Hemm." Agnis tak menoleh, masih fokus dengan kitab kuning yang berada dihadapannya.

"Mbak enggak ngantuk?" Silvi menutup mulutnya dengan tangan sebelah kiri.

"Belum," jawab Agnis singkat, masih tak merubah pandangan.

"Aku udah ngantuk nih." Silvi bangkit mengambil salah satu buku Agnis yang sudah tersusun rapi di lemarinya, "Ini isinya apa, Mbak? Tebel banget?" tanya Silvi sambil membuka nootbook milik kakak seniornya itu.

"Oh, itu." Agnis menoleh. "buku notulen ku." Pandangannya kembali beralih ke kitab kuning.

"Mbak nulis ini sejak kapan? Enggak capek apa nulis sebanyak ini." Silvi mengerutkan dahi. Menyipitkan mata. Membolak balikkan buku.

"Udah lama Mbak nulis itu, Sil. Sejak pertama kali mondok di sini." Lagi lagi gadis gemuk itu tak menoleh.

Silvi terus saja membolak balikan lembaran buku milik Agnis, merasa penasaran dengan isinya. Walau ia tak berniat untuk membacanya.

"Sekarang Mbak tanya, kamu punya catatan kayak gitu nggak," tanya Agnis menyindir. Namun Silvi tak merespons. Memang benar, Silvi belum pernah sekalipun mencatat keterangan yang disampaikan oleh gurunya ketika di kelas. Kerjaannya yang sering ngantuk itu, membuatnya malas untuk mendengarkan tutur kata dari guru yang saat itu sedang menyampaikan isi dari suatu kitab.

"Sil," ujar Agnis merasa dikacangi.

"Eh, iya Mbak. Kenapa?" Silvi pura-pura kaget. mencoba mengamankan diri.

Agnis mendengkus. Mengalihkan pandangannya ke kitab lagi.

Silvi berhenti membolak balikan lembaran, dan berhenti di suatu keterangan yang menarik perhatiannya.

Kebenaran absolut, yaitu kebenaran yang mudah diterima oleh akal dan setiap orang pasti mudah untuk mengakuinya, tanpa adanya imbalan maupun paksaan untuk mengakui kebenaran itu.

ketika berbicara soal kebenaran absolut, maka, kita harus ikhlas. Dan, ikhlas itu, tidak butuh surga.

"Tidak butuh surga?" gerutu Silvi setelah membaca salah satu keterangan yang ada di nootbook milik Agnis.

"Kenapa, Sil?" tanya Agnis penasaran, melirik ke gadis mungil yang tengah membaca buku nootbook miliknya.

"Bukannya kita beramal baik itu supaya ingin masuk surga, Mbak?" tanya Silvi merasa ada yang mengganjal di kepalanya.

Mendengar perkataan adek juniornya itu, Agnis menutup kitab yang sedari tadi ia baca, lalu pandangannya beralih ke Silvi, "Yang jadi penentu orang bisa masuk surga itu bukan amalnya, melainkan karena rahmah dari Allah," tandas Agnis.

"Saya teringat perkataan Abah Kiai, Kita beramal itu bukan langsung ingin masuk surga. Tapi urutannya, kita beramal itu untuk meraih ridho Allah, meraih anugrah Allah, meraih karunia rahmat Allah, supaya Allah mau meridhoi hamba-Nya, supaya Allah memberi karunia rahmat kepada hamba-Nya. Dan dengan ridho Allah tersebut, dengan rahmat Allah tersebut, maka Allah akan memberi balasan kepada hamba-Nya berupa surga.

Masuk surga itu bukan karena amal kita. Seberapa banyak amal yang kita lakukan, jika Allah tidak ridho kepada kita, itu percuma, amal kita tidak berguna, tidak ada manfaatnya. Amal ibadah yang kita lakukan itu tidak cukup untuk mendapatkan nikmatnya surga Allah. Karena amal kita itu tidak ada apa-apanya di mata Allah. Allah memasukkan kita ke surga itu karena karunia rahmat Allah, karena ridho Allah, karena belas kasihan Allah kepada orang yang bertakwa, beriman dan orang yang ikhlas beribadah karena Allah.

Ini adalah yang Terbaik (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang