January, 30th 2016
Mereka berkumpul di bandara Seokarno-Hatta. Lengkap dengan barang-barang mereka masing-masing. Lagi-lagi, Adry dan Andra mengenakan kostum yang nyaris sama. Sama-sama menggunakan sweatshirt hoodie berwarna light grey dan short pants berwarna senada tapi, sedikit agak gelap. Kecuali sneakers dengan merek yang berbeda.
Sebenarnya, keempat orang lainnya gatal ingin meledek, tapi melihat wajah kusut Andra, mereka mengurungkan niatnya. Natha yang memegang semua tiket mereka, sedang sibuk check in, sementara yang lainnya menunggu. Tak lama kemudian, mereka masuk ke ruang tunggu. Jadwal keberangkatan mereka tak lama lagi, hanya perlu menunggu kurang lebih sepuluh menit.
Andra memilih duduk sendiri. Membelakangi rombongannya yang serempak duduk pada kursi yang sama, sibuk bercengkerama. Mia dan Dio tengah mengunyah sandwich yang mereka beli di luar, sementara Indra, Natha, dan Adry kompak membicarakan pertandingan bola semalam. Berbanding terbalik dengan Andra yang terdiam memandang ke arah landasan pacu. Sesekali ia mengganti lagu dari ponselnya yang sedang ia dengarkan
melalui earphone.Hanya kenangan yang tersisa, hanyut dalam sepenggal kisah
Hingga kerapuhan terasa, kerinduan memaksa
Tiada sekejap ku terdiam, tiada sempat ku merasakan
Ku menanti namun kau menghilang
Tanpa bahasa
Manusia memang aneh terkadang. Ia sadar, dirinya sedang dirundung kesedihan, atau bahasa gaulnya, tengah galau. Tapi, bukannya melakukan sesuatu agar keluar dari jeratan kegalauan itu, mereka malah memilih untuk menikmati sakitnya. Dan salah satu bentuk kebodohan itu, adalah mendengarkan lagu-lagu galau. Seperti yang dilakukan oleh Andra.Ia tahu, tindakannya bodoh. Tapi, ada alasan tertentu mengapa ia mau mendengarkan lagu yang malah semakin mengungkit perasaannya yang diam-diam tersakiti. Mendengarkannya, sedikit banyak membantunya mendeskripsikan perasaannya. Yang bahkan tak bisa ia mengerti sendiri, apalagi untuk di mengerti orang lain. Karena ia sendiri tak suka bercerita tentang dirinya pada orang lain.
Sudah pasti Leon telah bahagia. Dengan atau tanpa dia di sisinya. Bahkan kenyataan terburuknya, Leon mungkin telah lupa jika pernah menitipkan janji padanya. Andra terikat akan janji itu. Menunggunya ditepati. Bahkan di saat ia mulai menyerah, bahkan di saat ia menemukan orang lain yang menggetarkan hatinya, tetap saja janji itu membayanginya. Janji bahwa ia akan kembali, berada di sisinya, untuk jangka waktu yang tak ditentukan. Mungkin, itu hanya janji seorang remaja, tapi bagi Andra, janji itu berharga.
"ndra...Andra. Woi!"
Baru setelah tubuhnya diguncang oleh Mia, gadis itu akhirnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia tundukkan.
"Kenapa?" tanyanya sambil melepas kedua earbud di telinganya.
"Udah mau berangkat. Buruan."
Mia berjalan lebih dulu. Andra lalu bangkit, mengenakan backpack-nya lantas menyusul Mia, Natha dan Dio di depan sana.
"Ngayal apaan kamu?"
Andra menoleh saat seseorang menyenggol ringan bahunya. Adry dan Indra berjalan beriringan di sampingnya.
"Bukan urusan kamu."
Andra mempercepat langkahnya meninggalkan kedua pria yang memandanginya heran sebelum tertawa kecil.
"Udahlah, yan. Kamu nggak bakal bisa naklukin dia."
"Kita lihat aja nanti."•••
Pesawat yang mereka tumpangi, transit terlebih dahulu di Changi Airport, Singapura. Perlu menunggu dua jam sebelum mereka benar-benar lepas landas ke Afrika Selatan. Setelah sempat berpencar membeli beberapa barang pada toko-toko yang ada di bandara, mereka kembali berkumpul di ruang tunggu.
"Aku udah searching di aplikasi kita, dan hasilnya ada 435 hotel beserta guest house di Namibia. Dan aku sudah reservasi dua kamar pada salah satu guest house di pinggir kota Windhoek." jelas Indra membuka pembicaraan. Ia menyodorkan ponsel-nya pada Andra.
Gadis itu mengamatinya sebentar, lantas mengembalikan ponsel Indra.
"Kamu catat aja semuanya. Nanti, berikan padaku dalam bentuk laporan keseluruhan."
"Lemes banget, sih. Lagi sakit, ya?" tanya Indra yang membuatnya mendapat tatapan tajam dari Mia. Andra sendiri tak memperdulikannya, dan memilih menyandarkan tubuhnya pada dinding dan memandang ke arah lain.
"Yan, mau ngapain?" pertanyaan Natha membuat semua mata, kecuali Andra, tertuju pada Adry yang berdiri seraya melepas sneakers-nya.
"Mau barefoot-an dulu. Bakal duduk lama di pesawat, perlu gerak banyak. Ada yang mau ikut. Muter-muter di dalem sini aja."
Indra, Natha, dan Dio langsung berdiri. Mengikuti Adry yang melepas alas kakinya, dan terlihatlah empat orang pria berjalan tanpa alas kaki. Mia hanya memandangi mereka, dan saat itu Adry menoleh padanya. Memberinya isyarat, sebelum ia beralih menatap Andra yang lagi-lagi terlihat murung. Bersandar pada dinding, memeluk lutut dan membenamkan kepalanya dalam-dalam.
"Kamu kenapa, sih? Keliatannya kurang semangat gitu." tebak Mia. Gadis itu ikut bersandar pada dinding lantas sedikit menelengkan kepalanya ke arah Andra.
Andra menggerakkan kepalanya, sedikit menoleh pada Mia.
"Kamu...nangis?" tanya Mia heran melihat wajah gadis itu sembab.
"Mia, aku harus bagaimana?" ucap Andra dengan nada suara begitu pelan karena menahan isakannya sendiri. Gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya.
Baru kali ini Andra bersikap begini di hadapannya. Sepanjang waktu yang dihabiskannya bersama gadis itu, tak sekalipun Andra menunjukkan apa yang ia rasakan. Bersedih saja tak pernah, apalagi sampai menangis seperti sekarang.
Mereka memang dekat, tapi tak ada kata curhat dalam pertemanan mereka. Andra adalah orang yang tak tertarik dengan hal-hal seperti itu. Karena baginya, tak semua hal harus dibagikan pada orang lain, bahkan kepada orang terdekat sekalipun. Dan Mia menghargai itu. Mungkin, hal itulah yang membuat Andra nyaman bersamanya.
Namun, kali ini berbeda. Tampaknya rasa sakit Andra kali ini tak bisa dibendungnya. Atau gadis itu hanya tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mia hanya bisa menebak, karena ia sama sekali tak tahu bagaimana kehidupan Andra selain di dunia kuliah dan sekarang di dunia kerja mereka.Mia mengusap-usap punggung Andra. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Lagipula pertanyaan Andra tadi tak butuh jawaban. Gadis itu malah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
YOU ARE READING
Absquatulate
Literatura FemininaJika tak ada pertemuan yang abadi, apakah perpisahan juga punya hukum yang sama? Jika benar demikian, dari segala kemungkinan di luar sana, dia yang datang lalu pergi, tentu akan kembali lagi, kan? Ataukah itu hanya berlaku bagi sosok tertentu, yang...