6. Nona Ransel

218 44 42
                                    

Jimin suka sekali keluar-masuk neraka. Saya selalu menemani dia di tiap langkahnya sampai lewati gerbang berkarat yang terlihat rapuh (walaupun Jimin jauh lebih rapuh). Saya adalah penyaksi, merangkul punggung lelaki muda itu sampai dia tinggalkan saya pada pengait bagian kiri meja. Namun saya masih memelihara pandangan padanya, pada teman sekelas Jimin, pada pintu yang digeser kasar, juga pada gelegak tawa yang tiba-tiba meledak di satu ruangan.

Jimin tersentak, saya tahu. Bahunya selalu bergetar. Dia kerutkan wajah, ditekuk-tekuk, mirip gumpalan kertas coret-coretan yang selalu berakhir di tong sampah belakang kelas. Jimin juga sampah, tapi paling tidak bukan bagi saya.

“Park Jimin! Selamat pagi!”

Satu lelaki bertubuh besar merangkul bahunya, diikuti beberapa lelaki lain di belakang. Saya tidak tahu apa peran cecunguk-cecunguk di baliknya selain jadi pemanas situasi. Mereka buruk. Maksud saya, mereka tidak punya kelebihan satu pun selain jadi boneka yang kerjanya cuma manut-manut. Jimin saya tidak begitu. Dia punya hidup dan dia masih ingin hidup.

Saya berdoa pada Tuhan—mungkin ini agak aneh karena bukan Tuhan yang ciptakan saya—agar Jimin baik-baik saja. Saya berdoa agar Jimin tidak lepas dari pandangan saya, meski siapa pun pasti tahu saya sama seperti yang lain. Pengamat. Kami semua pengamat, dari seorang pembunuh yang inginkan Jimin mati berulang kali. Kami semua pengamat yang menyaksi Jimin mati-bangkit-mati-bangkit lagi, tapi bukan dari kubur. Jimin saya punya lebih dari sembilan nyawa, dan saya waktu itu belum tahu kapan nyawa terakhirnya akan diambil.

Jimin kehilangan uang, kehilangan harga diri, kehilangan tubuhnya yang mulus-putih-manis. Saya pikir mereka tidak akan menyentuh saya, tapi, ya, ritsleting saya dibuka. Saya benci ini karena saya adalah milik Jimin. Tubuh saya milik Jimin dan cuma dia yang boleh sentuh saya. Saya berasa ditelanjangi di depan mereka, tapi tetap diam karena mata mereka tidak istimewa.

Tempat pensil, buku, semua jatuh. Semuanya. Di dalam tubuh saya cuma ada itu soalnya. Jimin tidak pernah macam-macam. Saya suka dia, saya ingin memeluk punggungnya kembali yang kini sudah memar-memar.

Setelah isi perut saya dimuntahkan paksa, saya dilempar ke arah Jimin, buat dia memeluk saya erat. Apa kamu sudah tenang Jimin? Saya ingin mengajarimu berlari, kabur sampai kedua kakimu aus. Jangan datang lagi ke neraka, Jimin. Jangan berharap pada siapa pun. Karena saya lihat sendiri bahwa yang selama ini dianggap jadi satu-satunya teman dekat ... baru saja lewati kelasmu sambil lirik dirimu yang tidak berdaya ..., tapi dia tidak berhenti. Dia melangkah, sangat ringan, seolah kamu dan dia tidak terlibat hubungan apa pun.

 Dia melangkah, sangat ringan, seolah kamu dan dia tidak terlibat hubungan apa pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note: Halo, schaitze di sini. Maaf, karena aku ceritanya jadi on hold lama bangett. Terima kasih sudah membaca. Tolong jaga hoshitni dan temani dia ya! Saya titipkan. Tolong support dia dan beri dia banyak cinta💛

Talk is OverratedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang