Jimin tidak sakit. Orang-orang di sekitarnya yang membuat dia sakit.
Dua bulan sejak saya keluar dari pabrik, dipajang dekat pintu masuk suatu toko. Saat itu kali pertama saya bertemu dengan Jimin, yang dipandang sebelah mata oleh para karyawan sebab dia tidak bicara dengan jelas. Para sepatu—teman-teman saya di sana—juga saling berbisik, tiada bedanya dengan dua penjaga toko yang mengejek Jimin dari balik meja kasir.
Jimin mengenakan seragam SMU kala itu, seorang siswa tahun terakhir. Saya ingat saat dwimaniknya menatap satu per satu sepatu yang berjejer. Hampir tidak ada yang mau diinjak Jimin, apalagi menjilat telapak kakinya yang mereka bilang “cacat”. Jimin cacat; vokalnya cacat sampai-sampai seluruh bagian dari tubuhnya ikut dicap cacat.
Jimin hidup tercela.
Ketika dia baru menjejakkan kaki di pengesat “selamat datang”, saya sudah tahu bahwa tangan Jimin yang kering dan mengelupas akan menyentuh saya, membawa saya pulang dengan membiarkan saya mencicipi telapak kakinya lebih awal. Saya masih hidup dan Jimin kembali dengan senyum semringah di balik tatapan hina orang-orang.
Saya memasuki tempat tinggal Jimin dan terkejut bukan main ketika harus menginjak lantai rumah yang jelek. Tempat tinggalnya tak lebih dari sebuah basement. Kecil, dingin, dan berantakan. Beberapa barang seperti kardus, kertas, dan kain ditumpuk tinggi-tinggi di sudut ruangan, sedangkan bagian tengahnya dipenuhi furnitur rumah seadanya.
Dapur becek berseberangan dengan tempat tidur yang ternyata digunakan untuk dua orang. Saya tahu sebab ketika kami datang, ada seorang wanita tua yang menyambut. “Jimin, kamu sudah pulang?” Dia bilang. Wanita tersebut memeluk Jimin erat-erat. Di baliknya, sebuah meja untuk makan lesehan diisi oleh sup kacang merah dan tumis bihun.
Jimin melepas saya; menaruh saya di atas tumpukan kardus bekas yang bagiannya sudah dimakan tikus. Lekas, dia mencuci tangan atas perintah sang ibu agar mereka bisa menikmati hidangan selagi hangat. Namun Jimin diam, tatapannya memelas, lalu berbicara dengan vokal-vokal yang saya tidak mengerti secara bahasa. Saya menerka-nerka. Ada sekitar 3 menit sampai pintu rumah dibuka tiba-tiba. “Bibi! Jiminnie! Aku datang!” seru seorang pemuda.
Kedua netra Jimin membelalak, berbinar seolah-olah pemuda tersebut adalah sosok yang Jimin nanti-nanti sejak tadi. Namanya Taehyung, teman Jimin yang paling berharga, dalam ingatan saya. Adalah Taehyung yang diam-diam mengunjungi Jimin di ujung petang sembari menggenggam plastik berisi lauk pauk. Adalah Taehyung yang sering kali ikut makan malam di rumah Jimin dan melahap semua bersama sampai kekenyangan. Malam itu, Taehyung membawa oseng rusuk babi. Bertiga, mereka tertawa sambil menikmati makanan beserta nasi hangat dan air mineral.
Malam ketika adanya Taehyung tak pernah membuat basement jadi mengerikan. Hanya saja, saya tak begitu mengenal Taehyung. Saya kenal dia sebatas menyaksikan laki-laki tersebut makan malam bersama keluarga Jimin; saya kenal dia sebatas selayaknya “anak angkat” Nyonya Park.
Kim Taehyung mengkhawatirkan. Dia membuat semua hal menjadi berlebihan, terutama soal hati (hati saya terhadap keluarga Jimin). Perasaan saya tumpah ruah, luluh benar-benar untuk Jimin. Saya mencurigai Taehyung. Saya yang kala itu belum tahu apa-apa mencurigai Taehyung. Otak saya tak dapat berhenti berpikiran negatif, apalagi saban hari di mana saya menyaksikan terus menerus interaksi antara Jimin dan Taehyung. Memprihatinkan. Mereka berdua berbahaya.
Saya tidak tahu banyak perihal Jimin sebelum kenal Taehyung. Bahkan dia tak pernah temui Taehyung di luar rumahnya. Saya tidak bisa bercerita. Jimin sudah tersesat dan saya tidak sanggup. Tuan Kaus, saya harap Anda tidak pura-pura tuli untuk menjawab permohonan saya. Tolong, gantikan saya untuk bercerita.
Note: ibu peri🤔
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk is Overrated
FanficJimin tertidur di sisi kamar. Suara napasnya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma serabut tali-temali, sedang saya menatap dia berdarah-darah. Kemudian Jimin bilang, ini cara miliknya untuk mencintai diri sendiri. [A collaboration with Mas...