Bagi Jimin, panekuk normalnya disajikan siang bolong. Tanpa topping, lalu dia sebut-sebut sebagai sarapan sesungguhnya. Dapur dan kamar (seisi rumah) akan ricuh oleh satu-satunya sejawat yang katanya sampai rela menceboki Jimin andai saja kedua tangan tak lagi bebas. Saya bisa jamin, susunan alfabet yang jelas tidak-jelas tumpang-tindih penuhi ruangan, tidak peduli dalam keadaan apa pun, seolah melayang di akal penghuni sepenjuru bilik dan memang hidup kami akan selalu demikan. Tadinya, saya pikir begitu.
Namun Jimin kehilangan Ibu Peri. Yang saya tahu, dia sudah tertanam di dasar tanah bersama akar-akar krisan dan serabut rerumputan liar. Semua bermula dari hari itu, ketika suasana rumah makin sepi, lantas Jimin tiba-tiba membanting pintu kamar dan tersedu-sedu tiada akhir. Saya tidak pernah lihat malaikat mendatangi Jimin lagi, begitu pula dengan teman-teman saya. Tempat tinggal kami dan penghuninya mengejawantah jadi pasukan mayat, padahal kami tahu siapa yang sudah jadi mayat di sini.
Vokal-vokal teratur tak pernah lagi membayangi kedua daun telinga saya (secara istilah), kalau saja saya punya. Cuma tik-tik-tik, yang kemudian disambung suara sumbang seolah lilah berpuluh-puluh lebah—tapi kamu tidak akan pernah temukan madunya, sebab hanya Jimin yang punya hak cipta.
Sisanya Jimin akan tertidur di lantai kamar sepanjang hari—alih-alih di ranjang, telanjang dada, sampai dia bosan atau kedinginan. Kemudian, menangis. Saya tidak tahu persisnya, tapi, ya, dia menangis, saya rasa. Saya bisa lihat, meskipun kedua mata saya barangkali masih melongok dari alam lain. Namun saya ikut sakit. Dipikir-pikir lagi, saya mau hati, dan kelenjar air mata, dan saraf, dan sebuah tubuh proporsional. Supaya Jimin dan saya dapat bersedih berdua, berpelukan, lekas merasakan kehangatan. Sayangnya, tangan untuk meraih Jimin saja saya tidak punya.
Saya bukan manusia, Jimin. Saya tidaklah lebih dari piringan bulat, jarum, dan jejeran angka. Kamu tidak akan dapatkan apa-apa dari saya, kecuali fakta bahwa saya secara tidak langsung menyakiti kamu. Saya terus hadirkan waktu, tunjukkan pukul yang tepat, dan membuat kamu dibayang-bayangi kekosongan. Saya juga menyesal. Kalau bisa, saya tidak akan mau dibuat untuk sekadar dipaku di dinding dan mengingatkan seseorang akan hal buruk. Saya tidak mau.
Namun saya harap kamu berhenti. Jangan seperti kala itu, yang pernah suatu ketika di pagi buta (masih sangat buta), kamu mengigau. Saya tahu, ada Ibu Peri dalam tiap senti sudut pandang kamu, Jimin. Ibu Peri dibingkai figura, Ibu Peri ditutup selimut, Ibu Peri di balik ubin. Kemudian saat kamu lihat pojok-pojok kamar untuk kesekian kali, Ibu Peri masih ada di sana.
Saya lihat dia. Saya lihat Jimin berlutut, menjajah petak-petak lantai, berguling sambil muntah-muntah lantaran bahagia bukan main. Padahal saya tahu. Kami tahu, Jimin tidak pernah bahagia sejak ditemani ajal yang sungguh.
Jimin juga pernah diikuti kematian jauh sebelum ini, jauh sebelum bertemu Ibu Peri. Bagi Jimin saat itu, kenormalan adalah seonggok mayat. Dia pernah tertatih-tatih, pulang dengan kulit keunguan di pipi, pelipis, dagu, lengan, dan hampir seluruh bagian tubuhnya pernah merasakan. Dia pernah jumpa kematian semasa, sementara waktu di sebalik lembar hari ini, hanya karena dirinya berbeda. Ada yang lebih tahu dari saya tentang hal tersebut, mungkin Sepatu dapat ceritakan lebih detail nantinya, sebab yang saya tahu sekarang adalah sensasi panas dan keremangan dalam diri kami, penghuni kamar.
Saya tidak paham dengan isi pikiran Jimin. Saya tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba membawa Tali yang entah dari mana ke kamarnya. Sama sekali. Saya tidak punya akal, Jimin, jadi tolong jangan buat saya berpikir lebih dari semestinya.
Saya tidak lihat apa-apa. Saya tidak mau lihat. Jangan hasut saya, Tuan Tali. Jangan katakan apa-apa pada saya. Saya tidak mau jadi saksi bahwa Jimin yang tengah mengenakan pakaian serba putih itu berharap kembali suci, memeluk Tuhan agar mau mengabulkan permintaannya. Saya tidak mau melihat Jimin mendatangi Tuhan secara langsung untuk memohon agar Ibu Peri kembali. Kamu mungkin tidak tahu apa-apa sebelum ini, Tuan Tali. Namun kami semua telanjur ikut memendam rasa sakit.
Note: ARMY biasanya suka berteori, nih. Ada yang mau berteori?(。ノω\。)
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk is Overrated
FanfictionJimin tertidur di sisi kamar. Suara napasnya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma serabut tali-temali, sedang saya menatap dia berdarah-darah. Kemudian Jimin bilang, ini cara miliknya untuk mencintai diri sendiri. [A collaboration with Mas...