Kita dipenuhi keremangan yang canggung. Ada pula kelembapan udara yang menyelimuti kita. Tetapi, dibanding itu semua, tidak ada yang lebih penting ketimbang Jimin yang jiwanya tergeletak jauh, terlempar, lemah. Maka dari itu, terima kasih karena sudah menceritakan peliknya Jimin, Tuan Jam (sulit bagi saya untuk mengundang Anda "Tuan Jam Dinding, Tuan Jam Dinding", jadi saya mohon maaf karena telah menyingkat nama Anda). Soalnya, Anda telah membuka pintu menuju Jimin sebanyak 30 derajat.
Saya akan bercerita sedikit, sebab sejak tadi, saya terus puasa bicara. Saya harap, ini memang giliran saya untuk berucap. Saya harap lagi, semoga dengan sudut pandang saya yang adalah sebuah silinder aluminium tipis, kita semua dapat tahu rasa hati Jimin tadi malam. (Oh, baik. Kita tidak bergiliran. Tinggal asal angkat suara saja, 'kan?)
Beberapa jam yang lalu, tuan kita semua, Jimin, pergi menjemput saya di salah satu toko kelontong yang beruntung. Saya yang kedinginan diambilnya, digenggam supaya hangat. Tapi saya ragu, lantas bertanya-tanya: Apakah Jimin lebih menyukai saya yang hangat, atau yang dingin? Saya tidak tahu. Tapi, saya suka digenggam. Saya suka ketika telapak tangannya menyentuh saya dengan lembut. Padahal, kaleng-kaleng bir lainnya bakal takut ketika tubuhnya disentuh manusia. Sebab bagi kaleng bir seperti kami, manusia adalah vampir.
Ah, Anda bertanya-tanya mengapa kami berpikir demikian, Tuan?
Alasannya cukup sederhana: Kami adalah kaleng bir dan manusia suka meminum darah kami. Iya, darah kami yang panas sekaligus dingin. Setelah menghabiskan tetes-tetes terakhir kami, mereka akan meremas kami, sehingga bentuk tubuh kami rusak dan berbahaya bagi siapapun yang menyentuhnya. Tidak cuma itu, mereka juga akan melempar kami menuju tempat sampah yang bau dari kejauhan. Manusia adalah vampir yang jahat. Tapi, sepertinya Jimin bukan salah satunya. Jimin adalah manusia yang sayu dan cantik.
Anda bertanya lagi mengapa saya berpikir demikian, ya? Ha ha ha.
Maafkan saya yang tiba-tiba tertawa, Tuan Jam. Meskipun kita sama-sama tidak punya mata ataupun telinga, saya yakin tawa saya bisa membuat tuli. Maaf karena bersikap tidak sopan ketika sedang berbicara. Saya cuma ... tidak menyangka Anda akan bertanya mengenai hal itu.
Huh, pokoknya, saya bersyukur karena telah bertemu Jimin. Saya tidak diteguk, tidak diremas, juga tidak dilempar. Justru saya digenggam, lalu diletakkan di atas meja, bersebelahan dengan Tuan Tali yang gemetar. Dan itu membuat saya merasa bersyukur sekaligus terharu. Saya yang kini tak lagi kedinginan, kasihan terhadap Tuan Tali dan Jimin, tuan kita.
Tuan Tali kasihan sekali. Pasti Anda ingin menangis. Saya yang ada di sebelah Anda dapat merasakan getaran Anda yang tak lekas berhenti. Saya tahu, Anda takut membunuh orang, kan? Anda takut dicap sebagai pembunuh ketika nyawa-nyawa melayang di ikatan Anda, kan? Anda juga takut akan rasa bersalah yang bakal menghantui Anda jika Jimin benar-benar akan mengakhiri hidupnya dengan tubuh Anda.
Ah, tidak, Tuan. Saya mohon, jangan tersedu begitu. Suasana jadi makin sayu jika Anda menangis dan berkeringat. Dan ....
Astaga, mengapa Jimin mengikat tubuh Anda, Tuan Tali? Mengapa Jimin bilang dengan gagu bahwa, dia ingin menghilang?
Maaf, lagi-lagi mulut saya yang tidak ada berteriak dan mengganggu kalian semua. Saya minta maaf. Maaf. Maaf. Maaf sekali. Tuan Tali, mohon tunggu sebentar. Bertahanlah sebentar. Jangan menangis. Jangan berdarah. Jangan menatap saya dengan bergetar. Saya pun tidak dapat membantu Anda. Maaf. Maaf. Maaf sekali. Maaf karena telah mendominasi diri saya sendiri, dan bukan Jimin ketika bercerita. Saya memang kaleng bir yang berengsek.
Ah, Anda bilang apa, Tuan Muda Sepatu? Anda akan berkisah?
Iya, tolong. Tolong kisahkan mengenai Ibu Peri. Tolong beri tahu saya. Tapi yang terpenting, tolong selamatkan Tuan Tali dan Jimin!
Note: Saya memang bir kaleng yang berengsek, awowowowk. Aku suka Heineken, yall. Tercyduck penuh dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk is Overrated
FanfictionJimin tertidur di sisi kamar. Suara napasnya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma serabut tali-temali, sedang saya menatap dia berdarah-darah. Kemudian Jimin bilang, ini cara miliknya untuk mencintai diri sendiri. [A collaboration with Mas...