Park Jimin.
Kalau namanya saya sebut seperti itu, dia tidak pernah dengar. Dia tidak menolehkan kepala. Dia tidak melihat saya. Tapi terkadang, saya menggelitikinya. Lewat benang-benang saya. Lewat jahitan yang merekatkan saya. Saya menyelimuti tubuhnya. Dan dia akan tertawa, membalas debaran jantung saya (tapi sebenarnya saya tidak punya jantung). Kami bisa berinteraksi seperti itu.
Kami sudah mengenal hampir satu windu, kalau Anda sekalian ingin tahu. Jimin membeli saya beberapa tahun yang lalu. Tapi, setelah tahun-tahun itu berlalu, saya masih cukup di tubuhnya. Justru, sepertinya saya yang membesar. Sebab, Jimin kini terlihat cilik jika saya menyelimutinya dengan tubuh saya sendiri. Atau ... dia yang menyusut. Dia seperti Alice yang menyusut di Wonderland. Dan saya sangat menyayangkan hal itu. Dia jadi kurus. Seperti kerangka tulang yang dipajang di laboratorium sekolah. Tetapi, tidak. Saya tetap akan menyelimuti Jimin seperti hari-hari sebelumnya. Sebab, dialah manusia yang memiliki saya; dialah orang yang mungkin menaruh hati pada saya yang kini sudah menua. Maka dari itu, saya bertahan padanya. Dia adalah majikan saya.
Tadi malam, Jimin hujan, menghujani saya. Mata dan tubuhnya hujan, membasahi diri saya yang membalutnya dengan sekuat sisa jahitan saya. Tubuh di balik diri saya ini berkeringat dingin. Jimin menggigil. Dia meringkuk seperti anak kucing yang kehilangan ibunya.... Ah, ibu. Ibu perinya.... Saya tidak tahu mengapa tuan-tuan dan nona sekalian memanggil orang itu sebagai ibu peri. Tetapi, terserah. Silakan panggil dia dengan nama apapun. Namun, ketahuilah bahwa tuan kita semua, Jimin, memanggilnya sebagai Taehyung.
Jimin, panggil saya. Jimin.
Dia tidak menjawab. Saya menggelitikinya dengan tubuh saya.
Jimin.
"A ... aku sedih."
Saya dengar. Saya tahu. Saya tahu sekali. Tetapi, bagi Jimin, kesedihan adalah perasaan yang menyenangkan. Sedih membikinnya candu. Jimin selalu rindu rasanya sedih, jadi dia merendam dirinya dalam kesedihan yang tidak lagi terbendung.
"Aku i ... ingin bersepeda. Tapi, aku tak punya sepeda...." Jimin berucap dalam kegaguannya yang dicela. Namun bagi saya, suaranya tidak tercela, melainkan indah.
Iya, benar. Jimin tidak memiliki sepeda. Nyatanya, Jimin tidak memiliki apa-apa selain kesedihan dan memar. Dia tidak punya teve, karpet, tas, atau jiwa. Jimin cuma memiliki ketiadaan. Dia bahkan tidak memiliki dirinya sendiri. Karena, dirinya adalah milik Tuhan. Hidup Anda adalah milik Tuhan, Jimin! Tolong sadar bahwa Anda terasuki kesedihan! Sadarkan diri Anda, Park Jimin. Buka mata dan lihat bahwa Taehyung sudah tidak ada. Taehyung sudah menjual sepedanya.
Kuku-kuku Jimin bergerak menggaruk lantai yang dingin. Saya berusaha mencegahnya, tetapi saya tak punya cukup tenaga untuk menjadi hidup. Saya yang diam jadi tambah diam ketika Jimin meraung, "Tolong hentikan penyiksaan ini. Aku mau ... berhenti. Tae ... hyung sudah tidak ada. Aku benci gagu tanpa dia.... Tidak ada ... lagi yang bersamaku di ... dunia ini." Suaranya yang kasar memasuki telinga saya yang tak kasat mata, menembus rongga-rongga benang saya yang tidak memiliki jiwa.
Saya ingin menangis jika memiliki kelenjar air mata. Saya ingin menonjok diri saya sendiri, dan meraung-raung seperti Jimin. Saya ingin merobek raga saya yang usang, dan memberikan diri saya pada Jimin supaya dia bisa menjahitkan saya pada lukanya. Tolong, Jimin, nantikan fajar bersama saya. Tolong tetap berada di dalam saya. Tolong, tolong, tolong tetap genggam jiwa Anda!
Jimin mengangkat tubuhnya perlahan. "Tae ... hyung tidak ke ... mbali." Terdengar suara tangis kecil dari bibirnya yang bergetar dan berdarah. Jimin mengumpulkan sisa-sisa nyalinya untuk menangisi Taehyung.
Tentu saja dia tidak kembali. Dia sudah mati, Jimin. Dia mati, meninggalkanmu sendiri. Makanya, jangan mati. Tetaplah di sini dan habiskan sisa nyawa Anda dengan lebih baik lagi.
Teman-teman perkakas sekalian, kalian perlu tahu: Bagi Park Jimin, Kim Taehyung adalah seorang Mad Hatter. Bagi tuan kita, Taehyung adalah panekuk yang disajikan tanpa topping pada siang bolong. Kim Taehyung adalah sebuah kenormalan. Bagi Jimin, dia adalah segalanya.
Dan saya benar-benar ingin menampar diri saya sendiri sekarang.
Tolong tampar saya. Tolong tuan-tuan, nona, dan Tuhan, bantu saya supaya jiwa Jimin tetap berada di dalam saya.
Note: aku menulis dalam keheningan. Kayak meradang. Terus aku mendengar suara keheningan. Dia menerorku, bilang kalau aku adalah orang terberengsek yang sukanya cuma menyumpahi peradaban. Kubilang padanya, "Memang itu aku, hah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk is Overrated
FanfictionJimin tertidur di sisi kamar. Suara napasnya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma serabut tali-temali, sedang saya menatap dia berdarah-darah. Kemudian Jimin bilang, ini cara miliknya untuk mencintai diri sendiri. [A collaboration with Mas...