1. Tuan Tali

1.1K 152 114
                                    

"A ... ku ingin bertemu dengan Tu ... Tuhan," katanya. Saya cuma dengar samar-samar, sebabnya saya tidak punya telinga. Dan lagi, Jimin tidak bisa bicara lantang.

Saya terduduk di atas meja. Menggigil. Meraung-raung, saya coba. Tapi tidak keluar satu desibel pun suara dari mulut saya. Dan saya tidak punya mulut. Mulut saya, barangkali kalau memang ada, cuma terbuat dari serabut-serabut tali-temali usang yang ternyata masih kuat untuk dipakai. Tapi tubuh saya kasar. Kulit saya mengelupas. Saya sudah tua, dimakan usia dan kegunaan saya sudah hampir habis.

Saya melihat Jimin, tuan saya, tertidur di sisi kamar yang dingin. Tempat yang kami tinggali tidak pernah tidak dingin. Suara napas tuan saya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma adalah serabut-serabut tali-temali. Sedang saya menatap dia dengan mata berdarah. Tapi bukan, itu bukan darah saya. Entah, saya juga tidak tahu darah milik siapa yang menyelimuti mata saya hingga saya nyaris buta.

Jimin meringkuk di tengah-tengah kedapnya suara. Sunyi mendengar kami berdua yang tidak bergerak seinci pun. Saya jadi merinding. Soalnya, kesunyian terasa seperti ingin menerkam kami berdua, ingin membuat kami berdua menjadi sunyi, dan Jimin tidak bisa mengeluarkan suara napasnya lagi. Tapi, seakan-akan, saya bilang. Nyatanya, saya hanya bisa menjadi sunyi. Tapi tidak dengan Jimin. Malam ini pun, dia masih bersuara, sama seperti malam-malam sebelumnya. Kendati demikian, saya sendiri kurang tahu, apakah suara itu masih akan terdengar pada malam-malam selanjutnya. Saya tidak bisa menjamin apa-apa.

Kenapa?

Kamu tanya kenapa?

Kalau begitu, pertanyaanmu itu akan saya jawab dengan pernyataan lainnya. Kalau bukan untuk membungkam dirinya sendiri, lantas untuk apa saya didudukkan di meja ini? Di kamar tuan saya? Tolong pahami, bahwa saya adalah sebuah tali tambang yang sudah usang. Saya sudah siap dibuang, jika saja Jimin ingin membuang saya. Tapi tuan saya yang tampan itu tidak segera membuang saya, setelah bertahun-tahun lamanya. Lantas ketika dia memungut saya dari gudang belakang rumah dan membawa saya ke kamarnya, saya jadi curiga. Bukankah tuan saya terlihat mencurigakan?

Ah, bagimu tidak mencurigakan, ya?

Kamu berpikir bahwa Jimin sama sekali tidak mencurigakan, sedang saya berpikir sebaliknya. Aneh. Kenapa dia membawa saya ke kamarnya yang dingin? Kenapa saya dipindahkan dari ruang dingin ke ruang dingin lainnya? Tapi di sisi lain, bukankah ini ironis, bahwa saya sebagai tali tidak pernah ke ruangan yang hangat?

Saya masih memandang Jimin yang memeluk kehadirannya sendiri di kamar ini. Entah mengapa, matahari belum juga muncul. Saya tahu itu karena cahayanya belum mengintip dari jendela yang tertutup. Meskipun matahari masih tertidur, Jimin tiba-tiba terbangun. Sepertinya, dia haus. Atau mungkin dia lapar. Saya sendiri tidak bisa menebak apa maunya, apalagi ketika dia bangun dari tidurnya, duduk bersender pada pintu dan semua skenario-skenario yang muncul di kepala saya (itu pun kalau memang saya punya kepala) dihancurkan olehnya. Jimin duduk, badannya nan kurus itu membungkuk, kepalanya menatap lantai kayu yang kalau diinjak berderit kencang.

Tuan saya terlihat lemah di dalam balutan kaos berlengan panjang putih yang basah. Sepertinya, dia berkeringat. Tapi, bukankah saat ini terlalu dingin untuk berkeringat? Bahkan, saya yang tidak punya saraf saja berharap supaya bisa menggigil, tapi justru tuan saya berkeringat. Sampai bajunya basah. Sampai hatinya kuyup.

Saya menenggak secangkir ketakutan yang panas, sangat-sangat panas, yang membuat kerongkongan saya melepuh tatkala Jimin yang ringkih bangun dari duduknya. Saya gugup sebab dia berjalan menuju saya yang tergeletak di atas meja. Detik-detik terasa makin cepat saat tangannya memperkosa tubuh saya yang kasar. Saya digenggam. Kegunaan saya akan dipakai untuk yang terakhir kali. Saya bisa merasakan gemetar yang tidak kunjung hilang di tangannya. Jimin yang berkeringat, bergetar.

Apakah kamu merasakan rasa takut yang sama seperti saya, Jam Dinding? Bukankah keremangan keadaan dalam tubuh kami itu terlalu menakutkan? Lantas, atas alasan apa Jimin ingin bertemu Tuhan?

Apakah kamu merasakan rasa takut yang sama seperti saya, Jam Dinding? Bukankah keremangan keadaan dalam tubuh kami itu terlalu menakutkan? Lantas, atas alasan apa Jimin ingin bertemu Tuhan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note: Halo, semua! Yap, Hoshitni kembali lagi bersama seseorang, hehe. Seorang Master. Master yang ... yang apa, ya? Pokoknya, aku senang karena punya kesempatan ini T_T bisa kolaborasi bareng manusia super.

Talk is OverratedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang