Dulu tiap kali pulang sekolah, beliau menindih saya. Tiap kali beliau begitu, saya pikir, saya sedang diajak bercinta. Tetapi, beliau tidak pernah benar-benar bercinta dengan saya. Sebab, kulit saya yang terbuat dari kayu, yang bila diinjak berderit itu, selalu dingin untuk beliau.
Pula setiap beliau pulang sekolah, tatkala tubuhnya ditumbangkan di atas saya, meringkuk, darah dari tubuhnya menetesi saya. Saya tak tahu apa yang terjadi pada beliau sebelumnya, tetapi saya yakin bahwa tetesan darahnya itu menghangatkan kulit kayu saya yang kedinginan. Darahnya membekas hingga muncul rona merah di permukaan saya. Itu cantik, tapi sakit. Saya sendiri tak tahu seberapa besar paku yang ditancapkan kepada hati beliau, tapi beliau terlihat paling sedih.
Tidak, tidak. Sebenarnya, beliau tidak pernah menunjukkan kesedihan secara gamblang. Namun, darah yang menetes dari sudut lututnya atau bagian tubuh lain setiap pulang sekolah itu selalu memberi tahu saya.
Tidak, tidak. Sebenarnya, beliau juga tidak pernah memperlihatkan darahnya secara gamblang. Apalagi ke Ibu Park atau Kim Taehyung, si Ibu Peri yang paling bejat. (Astaga, bukan maksud saya untuk menyumpahinya.) Namun, saya memang selalu tahu. Sebab dalam keremangan, Park Jimin kerapkali menangis di sudut kamar.
Saya tidak bisa menyangkal bahwasanya Kim Taehyung punya kelakuan paling manis di depan Park Jimin. Dia bakal meringkuk macam kucing kelaparan di depan Park Jimin, mengais-ngais keuntungan dari beliau yang polos. Terkadang, Kim Taehyung juga memperlakukan Ibu Park dengan sangat baik sampai-sampai Ibu Park lupa bahwa pemegang marga Park di sini ialah Park Jimin dan bukan Kim Taehyung.
Lantas, pertanyaan muncul di permukaan saya yang membeku: Jika Kim Taehyung memang sebaik itu, mengapa Park Jimin harus pulang sekolah dengan keadaan buruk? Mengapa harus ada darah yang menetes di atas saya? Mengapa Kim Taehyung tidak pernah muncul dengan keadaan buruk juga? Bukankah ini hal yang sangat mencurigakan?
Saya pikir begitu. Itu hal yang mencurigakan. Makanya, saya memutuskan untuk bertanya pada darah yang menetes ke permukaan saya pada suatu malam.
Dia sudah mengering ketika tanpa suara saya bertanya, apa yang terjadi saat beliau sekolah?
Dia tidak menjawab saya. Alih-alih menjawab, tetes merah kering itu malah memalingkan wajah, mendepak saya dari pandangan matanya. (Ini adalah khayalan saya, tentu saja.) Dia diam. Saya diam. Park Jimin juga diam.
Malam itu, kamar Park Jimin terlalu diam sampai-sampai suara denging muncul di telinga saya. Tak seperti malam-malam biasanya.
Kala itu, saya hanya bisa terdiam mendapati Park Jimin yang terlelap di atas permukaan saya yang dingin. Saya pikir begitu. Namun, detik berikutnya, saya baru sadar bahwasanya beliau bukannya terlelap, melainkan kehilangan kesadaran. Beliau sinkop setelah tumbang di atas saya.
Saya tak bisa menggempakan diri untuk mengembalikan kesadaran Park Jimin. Saya tak bisa membuat suara apa-apa karena saya bisu. Saya hanya bisa membiarkan Park Jimin sinkop dan merasakan gerakan dadanya yang tak beratur, menandakan bahwa napasnya tersendat. Sudah hampir satu menit sejak kamar ini hening, dan Park Jimin masih belum bangun. Saya berharap bisa cepat-cepat memanggil ambulans atau apa, terserah.
Namun rupanya, saya tak perlu melakukan apa-apa sebab beliau kembali sadar tak lama setelahnya.
Kamar tak lagi diam ketika beliau terisak keras sambil mengatakan, "K-im Tae-hyung, ken-apa kamu m-menjauh dari-ku s-setiap kita d-i sekolah?"
Dari situ, saya tahu jawaban dari semua pertanyaan yang muncul.
Si Sinting itu mencampakkan beliau. Makanya, beliau selalu pulang dalam keadaan buruk. Makanya, Kim Taehyung selalu mampir dengan senyum manis. Sebab, hanya di dalam rumah ini saja Kim Taehyung berteman dengan Park Jimin. Hanya di atas saya saja Kim Taehyung merengkuh beliau.
Tidak, tidak. Mohon jangan salah sangka. Kawan-kawan semua, saya sudah tidak peduli lagi terhadap Kim Taehyung yang kini menghilang, tidak pula terhadap Ibu Park yang juga ikut sirna. Hal itu sudah terkubur di dalam saya, Lantai Kayu nan dingin. Pokoknya, malam ini, hindarkan Park Jimin dari kematian.
Saya mohon.
Note: Jangan terlalu membenci Kim Taehyung (apalagi sampai membawa-bawa ke rl!). P.s. mohon dikomen inline jikalau ada typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk is Overrated
FanfictionJimin tertidur di sisi kamar. Suara napasnya terdengar kering, menembus raga saya yang cuma serabut tali-temali, sedang saya menatap dia berdarah-darah. Kemudian Jimin bilang, ini cara miliknya untuk mencintai diri sendiri. [A collaboration with Mas...