20. Disappearing when you wake up.

624 33 9
                                    

Akhirnya mereka turun satu per satu setelah mereka menempatkan motornya mengelilingiku. Salah satu dari mereka, yang memakai jaket hitam dan memiliki tattoo tepat di pelipisnya berjalan ke arahku dengan langkah besar. Sedangkan  yang lain menyaksikan langkahnya dengan menyilang tangan di dada masing-masing.

“Kau Zayn?” Tanyanya seketika membuatku terkesiap kaget. Kenapa dia mengetahui namaku? Dengan ekspresi datar aku mengangguk masih terpaku pada tattoo kalajengking yang menutupi sebuah luka jahit tepat di bawah tattoo-nya. “Di mana jalang itu?” Ia bertanya padaku dengan suara serak. “Jalang?” Aku mengerenyit dengan bahasanya yang kurasa sangat kasar. “Apa yang ingin kaulakukan padanya?” Tanyaku pada lelaki di hadapanku. “Kami harus menemukannya dan membawa pada atasan kami. Sekarang berhenti bertanya dan tunjukkan di mana jalang itu!” Perintahnya membuatku tergelak. “Dengar! Aku perlu bicara dengan atasan kalian. Aku takkan membuat keributan, kau bisa pegang ucapanku.” Pintaku membuat si lelaki ini menoleh ke arah teman-temannya meminta jawaban. “Mengapa kami harus melakukan itu?” Tanya salah satu dari mereka yang menunggu di motor. “Karena ini berhubungan dengan gadis itu.” Timpalku membuat mereka tertawa terbahak-bahak. “Gadis? Maksudmu jalang?” Oh itu penghinaan terbesar yang pernah kudengar.

***

Akhirnya lelaki yang kutunggu datang. Ia melangkah dengan borjuis. Penampilannya juga terhitung paling rapi dari yang lain. Ia semacam pengusaha atau semacamnya. Tapi mengapa dia berurusan dengan preman-preman seperti ini pikirku? Kuyakin dia memiliki kehidupan yang layak meskipun aku hanya menebak dari penampilannya. Ia menghampiriku yang duduk di atas sofa butut dan bau alkohol ini. Kami duduk berhadapan, bedanya ia memiliki pengawal di sebelah kanan dan kiri sofanya yang berdiri memandangiku.

“Kau Zayn? Aku Shawn.” Perkenalannya dan seketika aku memutar kedua bola mataku. Siapa peduli dengan namanya? “Ada apa kau mencariku?” Tanyanya dengan tatapan datar seperti meremehkan. Aku menatapnya dengan tajam. “Apa yang kauinginkan dari gadisku?” Tanyaku langsung ke intinya karena jujur saja aku tak betah berlama-lama di tempat kumuh seperti ini. “Gadismu?” Ia tertawa geli. “Kau tahu? Ayahku mati karenanya. Dan aku harus membalasnya…” Dia anak Dix? “secara perlahan.” Ia melanjutkan membuatku terbelakak. “Kau mau membunuh perlahan seorang gadis yang mempertahankan kehormatannya?” Tanyaku sedikit membentak. Mungkin aku telah membentaknya. “Kehormatan? Seharusnya kaupikirkan berapa kerugian yang kutuai dari semua ini. Terlebih ia melenyapkan nyawa ayahku. Tentu dia harus membayarnya.” Balasnya membuatku menelan air liurku sedikit ketakutan membayangkan nyawa gadis itu yang lenyap begitu saja. “Aku akan mengganti semua kerugianmu. Bisakah kita selesaikan dengan finansial?” Bujukku secara baik-baik. “Kau bahkan tak tahu berapa jumlahnya.” Ia membenarkan. “Beri tahu aku dan kita selesaikan masalah ini dengan baik-baik.” Pintaku lagi-lagi membuatnya tergelak. “170.000 US Dollar jika kau mau.” Ucapnya meremehkan mengira aku tak dapat membayarnya dengan pundi yang ia tentukan. Ya, meski aku harus benar-benar berusaha untuk semua itu. “Aku akan membayarnya.” Kataku dengan yakin setelah berpikir aku bisa menjual rumah dan mobilku. Dan sedikit meminjam uang pada bank. “Mengapa

kau mau melakukannya? Dia bukan gadis baik-baik.” Terkanya. Sungguh aku ingin meninjunya saat ini juga jika aku tak dikelilingi banyak pengawalnya. “Aku mencintainya. Dan mengenai penilaianmu, aku tak berpikir dia gadis yang buruk. Aku berjanji, aku akan membayarnya dekat-dekat ini. Jangan kau ganggu kami.” Paparku. Setelahnya aku berdiri dan meninggalkan mereka hendak segera melakukan apa yang pikiranku katakan tanpa menunggu responnya.

***

Setelah selesai dengan urusanku untuk menjual beberapa barangku, aku kembali menuju rumah sakit. Aku menemukan Ayah, Ibu, juga Kate yang sedang menunggu dengan panik di depan kamar gadis itu. Apa yang terjadi? Aku menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. “Apa semuanya baik-baik saja?” Tanyaku panik. Ayah dan Ibu hanya membalasku dengan tatapan mengerikan sedangkan Kate membuang tatapannya dariku membuatku merasa serba salah. Tepat setelah aku menanyakan itu, dokter keluar dengan buliran keringat di keningnya. “Kate, kita perlu bicara! Dan dia bilang dia ingin bertemu dengan tuannya.” Ucap dokter itu seketika membuatku berdiri tegap di hadapannya. “Boleh aku masuk?” Tanyaku masih dengan nada panik. Dokter mengangguk memperbolehkanku. “Jaga nada bicaramu! Jangan sampai dia tahu kau panik atas kondisinya. Itu bisa saja membuatnya pesimis untuk dapat hidup.” Paparnya membuatku semakin kewalahan. Apa maksud dari ucapannya? Apa gadis itu tidak memiliki banyak waktu untuk terus hidup? Aku mengangguk setuju. Sementara Dokter dan Kate pergi, aku menarik napasku sambil memegang gagang pintu. Lalu masuk.

“Tuan, apa itu kau?” Tanyanya denganlirih. “Ya, ini aku.” Sahutku menapaki ruangan yang amat sangat gelap ini. Aku menghampirinya yang tiba-tiba bangun dari baringannya. Ia merentangkan tangannya dengan lemas memintaku untuk memeluknya. Aku pun datang dan mendarat dalam pelukannya, lalu mengusap lembut rambutnya yang berantakan. Ia menangis.

“Hey, aku di sini. Jangan menangis! Kau aman bersamaku.” Bisikku masih memeluknya. “Aku tahu. Tapi kau tidak aman.” Jawabnya tersedu-sedu. Aku tak menggubrisnya dan mengeratkan pelukanku.

“Aku mencintaimu.” Bisikku membuatnya meraung lebih keras dalam pelukanku. “Jangan Tuan!” Ia memohon dengan nada memerintah, tapi ia tak bisa menahan isakan tangisnya dan enggan melepas pelukanku. Tapi aku melepas pelukanku dan menatapnya lekat-lekat setelah menaruh kedua telapak tanganku di kedua pipinya. “Maukah kau menikahiku?” Tanyaku mengusap air matanya. Padahal tanpa kusadari air mataku pun ikut keluar menyaksikan ketakutannya. “Aku…” Ia terengah. “Aku tahu kau mencintaiku. Aku akan menikahimu sekarang.” Pintaku. Maksudku paksaku. “Sekarang? Di atas ranjang ini?” Ia bertanya dengan kebingungan. Aku mengangguk yakin. Entahlah, kali ini aku merasa aku akan meninggalkannya, atau sebaliknya? “Aku seorang pelacur. Dan kau bilang kau hanya akan mencintai gadis yang mencintai Tuhanmu.” Katanya merasa rendah diri. “Apa kau mencintai Tuhanku?” Tanyaku tergesa-gesa betapa ingin memilikinya. Sepenuhnya. Ia mengangguk. “Aku akan menjadi seorang muslim. Bantu aku.” Pintanya. Aku tak dapat membendung air mata lebih lama. Aku kembali memeluknya dan kali ini aku yang menangis dalam pelukannya.

Sesegera mungkin aku melepas pelukannya dan pergi dari ruangan lalu menarik Ayah untuk membantu gadis ini memeluk agamaku. Maksudku agama kami. “Apa-apaan ini?” Tanya Ayah sembari memperhatikan kami yang terbanjiri air mata. Saat aku hendak membuka mulutku untuk berbicara, gadis ini pun angkat bicara membuatku bungkam.

“Aku ingin menyembah Tuhanmu. Aku ingin beribadah pada-Nya dan meminta maaf atas semua yang telah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku ingin mencurahkan semua kerinduanku pada Tuhan untuk melengkapi rohaniku. Aku membutuhkan-Nya, aku ingin mengungkapkan aku mencintai-Nya. Aku akan menyerahkan seluruh kehidupanku pada-Nya. Bolehkah?” Paparnya membuat Ayah membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Tapi ia nampak terlalu terjerumus ke dalam kata-katanya yang menggugah hati untuk menangis. Aku tertunduk menahan air mataku yang berontak ingin keluar.

“Bawa kami masuk.”

Suara itu terdengar dari ambang pintu. Lantas kami menoleh ke sumber suara. Dan aku menemukan Andrew sedang memeluk Kate yang menangis bersama Ibu yang tengah menenangkan Kate. Aku menatap Ayah penuh harap. Ayah mengurut kedua matanya untuk mengeluarkan air mata sekaligus mengusapnya. Ia tersenyum ke arah Andrew. “Masuklah!” Ayahku mengiyakan. Dan seketika aku meremas lembut tangan gadisku sambil menatapnya ‘kita berhasil’. Ia menunduk tersenyum dengan wajah sendunya.

Mereka masuk dan Ayah bergumam. Bisa kudengar ia mengatakan ‘subhanallah’ dengan suara dalamnya. “Kalian yakin dengan keputusan kalian?” Tanya Ayah serius. Andrew menatap ke ibunya yang masih tenggelam di dalam pelukannya. “Kami sudah membulatkan keputusan yang sudah kami bahas dari jauh-jauh hari.” Jauh-jauh hari? Itu berarti mereka menginginkan ini dari tempo yang cukup lama. Ayah meminta aku dan Ibu untuk keluar membuatnya bisa fokus dengan ketiga orang calon umat Islam ini. Aku dan Ibu menurutinya dan melangkah keluar.

“Mengapa kau tak memberitahuku soal ini?” Ibu bertanya ketika kami sudah sampai di luar. “Aku kira kau akan melarangku.” Jawabku sambil menunduk. Ibu memelukku. “Aku bangga padamu. Kau pemuda yang begitu baik.” Ucapnya dan aku tersenyum dalam pelukannya.

Lalu kami duduk menunggu Ayah selesai dengan urusannya.

Setelah cukup lama, aku mendengar suara jeritan dari dalam membuatku terperanjat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Night ChangesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang