"Setelah itu ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik." Lanjutnya masih terisak tangis. Aku hanya bisa menghapus air mataku sendiri dan masih mendengarkan segala penjelasan pahit yang wanita ini coba beritakan padaku. "Andrew selalu membencinya. Andrew tak pernah mau menganggapnya sebagai adik. Tapi, aku tahu. Ia menyimpan kasih sayang yang begitu besar untuk adik kotornya ini." Jelasnya. Aku melangkah ke arah wanita ini dan..
Memeluknya.
Ia begitu rapuh dan tumbang menumpahkan semua air matanya di dadaku. Aku ikut menangis. Aku ikut merasakan kepedihan ini. Lucu, bukankah baru tadi malam aku menjelaskan dampak dari seks bebas kepada gadis ini? Pantas saja ia menjawab dengan 'sering' mengetahui banyak masalah seperti yang kujelaskan.
"Itu yang membuatku tak dapat melarangnya keluar malam. Ia hanya ingin mendapat kesenangan yang tak pernah ia dapatkan saat siang hari. Ia hanya ingin melepas semua balutan kainnya setelah sehari penuh membungkus dirinya. Ia hanya ingin merasa hidup sebagai manusia normal! Hanya itu! Tetapi, karena dunia malam yang menyambutnya, ia masuk ke ruang gelap dan ia terlalu menikmati semuanya. Aku tak ingin ia mengalami semua yang kualami seumur hidupku. Tapi, apa dayaku ketika putri kotorku ingin merasakan setetes kebahagiaan di hidupnya? Ia hanya ingin sepertiga waktunya ia gunakan untuk merasakan apa itu hidup. Sungguh egois jika aku harus terus mengurungnya di kamar gelapnya itu." Ia terus menangis di dadaku. Aku hanya bisa membalas pelukannya dengan sesekali mengelus punggung lemasnya.
"Maaf." Ucapnya lirih melepaskan pelukanku. Ia berjalan menuju laci dan mengambil segelas air putih yang sudah disediakan lalu meminumnya. Ia mendesah nikmat melepas dahaga lalu mendongak tak ingin lagi air matanya kembali keluar. Setelah itu ia kembali mengelus putrinya dan tersenyum penuh beban.
"Lalu kenapa Andrew begitu terlihat membencinya?" Tanyaku saat wanita ini sudah dapat mengontrol diri. "Sudah kukatakan. Sebenarnya Andrew menyayangi dia. Tapi ia terlalu naïf untuk mengakui semuanya. Buktinya, ia selalu melarang adiknya untuk keluar malam? Ia bahkan tak jarang mengunci adiknya dengan kejam di dalam kamar hanya tak mau melihat adiknya keluar malam dengan pakaian itu. Ia menjadikan alasan 'malu memiliki adik seperti itu' untuk menutupi rasa sayang dan khawatirnya. Tapi aku tahu, bagaimana ia menyuruh teman-temannya untuk menjaga adiknya." Jelas wanita itu.
"Teman-teman Andrew? Ke empat pemuda?" Tanyaku sudah mulai menenak-nebak mereka itu lelaki yang sempat Andrew kenalkan padaku. Harry, Niall, Liam dan Louis. "Ya, mereka." Jawabnya mengangguk. "Aku pernah menghindari satu gerombolan dengan putrimu. Apa itu Andrew?" Tanyaku. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Tapi dia juga bermasalah dengan orang jahat! Putriku terlalu polos waktu itu hingga tak tahu bagaimana ceritanya ia bisa berurusan dengan gerombolan itu. Kudengar, ia banyak utang karena terus-menerus minum dan tak membayarnya. Tentu saja, dapat uang dari mana kami? Tulang punggung rumah tangga saja tidak punya?" Katanya sambil terkekeh . "Gerombolan itu berusaha memiliki putriku. Karena parasnya yang cantik dan tubuhnya yang menjual mereka rasa bisa membuat semua utang putriku terlunasi. Tapi Andrew kerap kali melindungi adiknya dari serangan itu. Bahkan tidak hanya itu, Andrew sering sekali memantau apa saja yang adiknya lakukan di luar. Karena Andrew tak dapat pulang setiap hari untuk mencari uang menghidupi kami, khususnya untuk melunasi utang adiknya yang menumpuk!" Tambahnya membuatku semakin merasa bersalah pada keluarga ini. Bagaimana tidak? Sering sekali aku berburuk sangka kepada mereka namun ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Dan aku sangat menyesal..
"Jadi kau hanya menonton perkelahian anak-anakmu karena kau tak bisa melarang mereka?" Tanyaku. Ia tersenyum lalu mengangguk. "Pertama, aku memiliki kesalahan yang sangat besar pada Andrew. Kedua, aku memang harus membiarkannya menghirup udara dunia ini meski dengan pakaiannya yang seperti pelacur. Maksudku, ia benar-benar menjadi pelacur setelah aku mengizinkan ia keluar dengan pakaian seperti itu. Aku tak dapat melarangnya. Itu yang ia inginkan, aku merasa tak bisa memberikannya apapun selama hidupnya. Mengobatinya saja tak mampu." Katanya dibarengi dengan helaan napas panjang.
Aku mengelus punggung wanita yang tak hentinya memandangi wajah putrinya yang terlihat begitu lemas. Dengan segala macam peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Suara 'beep' yang tak ada hentinya dari layar monitor menambah kesan miris yang kurasakan.
**
"Tuan?" Gadis itu akhirnya membangunkanku yang terlelap di pangkuannya. Ibunya menitipkan kepadaku karena ia bilang ia memunyai banyak urusan yang tak dapat ditinggalkan. Aku bangun dan menyapanya. "Selamat paggi!" Ucapku tersenyum lemas. Ia mengelus pipiku yang belum aku shave pagi ini sehingga janggut-janggut masih menempel di daguku. "Kau kelelahan?" Tanyanya. Aku mengerut kedua halisku dan menggeleng. "Tidak sama sekali." Jawabku dengan yakin. "Kau khawatir?" Godaku membuatnya mengerucutkan bibirnya dengan manja. Aku tertawa gemas.
"Tuan, memangnya kau sudah terbiasa tidur tanpa cahaya?" Tanyanya merasa bersalah karena kamar ini sangat gelap. "Aku sudah biasa. Tenang saja!" Kataku sambil mengelus pipinya yang memerah. "Aku terlihat jelek bukan ketika aku bangun di pagi hari? Aku peringatkan kau, Tuan. Sebelum pagi berganti siang, silahkan Tuan keluar karena aku tak mau Tuan melihat wajahku yang semakin buruk semakin matahari menyapa kulitku." Wanti-wantinya membuatku tertawa keras. Kau ini.. Gadis lugu!
"Kau tetap cantik!" Kataku menyemangatinya. Lalu ia menoleh ke kanan karena kebetulan ada cermin yang menempel di dindingnya. Ia bercermin dengan wajah yang sendu. Aku merapikan rambutnya yang berantakan, dan "Jangan percaya dengan refleksi cermin! Ia tak melihat siapa dirimu sebenarnya. Ia hanya memantulkan jasadmu, bukan keseluruhan dirimu. Bagiku kau cantik!" kataku membuatnya mengukirkan senyuman hangat dalam wajah merahnya. "Sudahkah kau sarapan?" Tanyanya. Aku tahu ia hanyaa ingin mengusirku karena ia masih tidak percaya diri ketika aku melihat wajahnya. "Belum. Tapi aku tidak lapar. Kau lapar? Akan kupanggilkan suster." Kataku. Ia mengembalikan wajahnya ke arah cermin dan menggelengkan kepalanya. "Maaf aku tak pernah menceritakan semua ini padamu!" Katanya dengan lirih. "Tidak apa-apa. Aku lebih suka menguaknya sendiri. Dan aku cukup terkejut dengan semua kenyataan yang kini kuketahui." Jawabku membuatnya membelalakan matanya. "Memang apa saja yang telah kauketahui?" Tanyanya takut aku mengetahui kisah keseluruhan hidupnya. "Apapun yang terjadi, takkan bisa mengubah apa yang kurasakan padamu." Tiba-tiba saja aku mengeluarkan kata itu membuatnya kembali tersipu.
"Apa umurku masih panjang?" Tanyanya menatapku sangat dalam penuh harap. "Kita hanya semakin tua, baby! Jangan kau hiraukan itu. Tuhan sudah mengatur semuanya!" Jawabku lalu memeluknya yang rapuh. "Kau di sini sepanjang malam?" Tanyanya masih tenggelam dalam pelukanku. "Ya. Kenapa? Kau terharu bukan?" Godaku. Ia mendongak lalu menatapku. "Enak saja! Aku mau bilang badanmu bau! Mandi sana!" Balasnya membuatku gemas. "Lalu kenapa kau mau kupeluk hah?" Kembali, aku menggodanya. "Aku tidak minta dipeluk! Kau yang memelukku!" Katanya dengan manja sambil menjulurkan lidahnya ke arahku. "Baiklah aku pergi." Ancamku. Tapi ia mencegahku dan kembali ke pelukanku.
Syukurlah. Ia tak sedih lagi. Setidaknya aku tak melihat lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Changes
FanfictionNight Changes Indah Muchtar Romance, religi, sad. 13+ Zayn Malik .. Ketika satu malam mengubah segalanya. Ketika malam menjadi tempat pelarian. Ketika malam memertemukan kedua insan yang berbeda. Ketika malam menyatukan air dan api. Ketika malam ber...