"Perjalanan yang pahit untuk sebuah kehidupan."
•••
"Dari kamu aku sadar, aku hanyalah segumpal tanah yang diberi nyawa. Entah apa tujuannya, yang aku tau aku beruntung dipertemukan dengan sesosok lelaki baik sepertimu."
_Amelia Sanjani_
Amel menutup halaman terakhir dari buku yang dipegangnya. Menghela nafas pelan, lalu perlahan bangkit dari duduknya namun tidak melangkah sedikitpun. Bel masuk telah berbunyi sekitar dua menit yang lalu namun ia belum juga beranjak dari bangku kayu yang senantiasa menemani hari-harinya selama satu tahun sekolah di sini. Setelah diam beberapa saat, Amel masih belum bergeming. Entah apa yang ada dipikirannya, tetapi jika dilihat dari raut wajahnya, ia terlihat murung dan sedikit kacau.
"Mel!" seru seseorang dari depan pintu kelas 12 IPA 2.
Amel menoleh pelan dengan pandangan sayu ke orang yang memanggilnya barusan.
"Kenapa lo belum masuk?" tanyanya kepada Amel.
"Ini juga mau masuk Li," lirih Amel dengan sangat pelan. Ia kembali menghela nafas sebelum pergi dari tempat itu.
"Maaf Mel," gumam Lia pelan sebelum mengikuti Amel dari belakang.
Suasana kelas 12 Ipa 2 sangat kacau melebihi mood Amel saat ini. Namun masih seperti biasanya, pemandangan yang sangat indah di suasana seperti itu selalu tertuju pada meja pojok di dekat pintu ruang kelas. Yaitu meja seorang Dafa Alfarizi. Sistem meja di sekolah ini memang meja tunggal di mana satu meja berisi satu orang.
***
Sepulang sekolah, seluruh siswa kelas dua belas IPA satu berkumpul disebuah cafe untuk merayakan kelulusan mereka karena setelah ini, semua akan terpisah dan berpencar untuk menjalani hidup yang sesungguhnya.
Saat selesai dan semuanya pulang, Dafa dan Lia ikut bangkit dan berjalan keluar. Dengan tergesa-gesa, Amel menyusul mereka hingga di parkiran.
"Dafa!" panggilnya saat hampir saja Dafa dan Lia masuk kedalam mobil yang Dafa bawa.
"Ada apa Mel?" tanyanya.
"G-gue mau ngomong berdua sama lo," ucap Amel sambil melirik kecil ke Lia.
"Oke, Lia lo masuk duluan." Dafa pun mengajak Amel duduk disalah satu kursi yang ada di taman dekat cafe tempat mereka berkumpul tadi.
"Jadi?" tanya Dafa ketika keduanya telah duduk.
Amel masih diam menunduk. Ia masih memilih kata yang tepat untuk mengucapkan perpisahan pada Dafa.
"Mel?" Dafa bertanya lagi dengan dahi mengerut.
Amel merogo tasnya. Mengambil buku yang selama ini menjadi tempat berceritanya.
Dafa bingung melihat itu. Apalagi tatkala Amel menyodorkan buku itu kepadanya.
"Ini...apa?"
"Itu buku." Amel dengan susah payah mengatur nafasnya agar bisa teratur.
"Iya, terus kenapa dikasih gue?" Dafa menaikkan alisnya sebelah tanda tak paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amelia
Teen FictionPertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan. Namun, bagaimana akhir dari epilog tanpa prolog? -Amelia's Story