Bab 4 : Pamit

0 0 0
                                    

"Tidak apa jika ini adalah sebuah epilog tanpa prolog. Karena, aku akan berusaha menjadikan extra part sebagai pembuka untuk ekstra kisah kita di buku yang berbeda."

•••

"Dafa, sekarang tinggal kita bertiga. Amel mau kita bareng terus selamanya. Dafa mau?"

_Amelia Sanjani_

Masa SD berlalu begitu cepat. Namun, tak ada yang berbeda jauh. Amel dan Lia masih sangat mirip dan beberapa temannya bahkan ada yang masih sulit untuk membedakan keduanya. Hanya tinggal Dafa lah yang saat ini paling jago membedakan keduanya.

Saat Amel dan Lia berjalan ke gerbang untuk menjemput Mama dan Papa, mereka berpas-pasan dengan Rini anak kelas sebelah. Kabarnya, ia selalu mengejar Dafa ketika Amel dan Lia sedang tak menempel padanya.

Gadis dengan tinggi rata-rata dan tas selempang berwarna baby blue itu jalan tergesa-gesa sambil menggandeng pria paruh baya. Setelannya Jas dan sepertinya memang orang yang berada.

"Amel, kamu sama mama atau papa?" tanya Lia. Ia mengamit tangan kembarannya dan berjalan duluan menarik Amel.

"Jangan cepet-cepet, Lia. Nanti kalau kamu jatuh, yang disalahin aku," Amel sewot karena kesulitan untuk menyejajarkan langkah mereka.

"Gak papa, kan kamu kakaknya," jawab Lia dengan enteng. Ia terkikik geli melihat wajah masam Amel yang setengah pasrah di tarik-tarik oleh adik kurang ajarnya itu.

Terlihat di sana sepasang suami istri berdiri di samping mobil putih. Amel dan Lia pun menghampiri keduanya. Hari ini adalah pembagian rapot terakhir dimasa SD.

"Papa, gantian ambil punya Lia ya, masa papa ambil punya Amel terus," pinta Lia pada Eren.

"Yaudah, nanti mama yang ambil punya Amel. Yakan, sayang?" Arista mengamit tangan Amel. Mereka berempat berjalan ke tempat pembagian rapot bersama-sama. Sambil saling bercanda, mereka terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis.

"Papa Eren!" Suara panggilan itu berasal dari Dafa yang baru saja keluar dari dalam kelas. Sepertinya ia baru akan menjemput orang tuanya.

"Gimana kabar, bro?" sapa Eren.

"Baik, pak bro." Eren dan Dafa saling bertos seperti teman akrab.

Amel menepuk jidatnya melihat kelakuan kedua pria itu. Tidak sadar umur, dan yang satunya juga sepertinya salah pergaulan.

"Siapa yang ambil rapot kamu?" tanya Eren.

"Mama, Pa," jawab Dafa.

"Si Gun kemana?" tanya Eren keheranan.

"Papa ada rapat," ucap Dafa.

"Udah dulu, ya pa. Dafa mau jemput Mama dulu." Setelah itu Dafa pergi ke gerbang untuk menjemput Sena.

Melihat Dafa yang sudah sedikit jauh, Amel langsung menyeret Arista, Eren dan Lia untuk segera masuk ke ruang kelas. Akan lama sampainya jika tak di seret. Apalagi jika tiba-tiba bertemu dengan rekan kerja atau teman kedua orang tuanya.

Sepulang dari sekolah, keluarga itu mampir sejenak ke makam Tian yang tak jauh dari rumah. Mereka ke sana untuk pamit pada Tian.

"Tian, Lia udah lulus SD, loh," kata Lia pada makam Tian. Ia berkata seolah Tian benar ada di sana.

"Amel juga," timpal Amel kala Lia tak menyebutkan namanya. Eren dan Arista terkekeh kecil.

"Tian harusnya juga udah lulus." Lia memasang wajah cemberutnya. Sangat di sayangkan bahwa Tian tak bisa merayakan kelulusan bersama mereka.

AmeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang