Bab 11 : Keluarga

1 0 0
                                    

"Kamu boleh tertawa ketika senang dan menangis ketika sedih. Tidak ada yang melarang karena manusia memang hidup dengan para emosi-emosi itu."

•••

Setelah sampai bandara Soekarno-Hatta, Arista dan Lia benar-benar sudah dijemput oleh Yoga dan Dina. Rumah lama mereka juga sudah dibersihkan hingga tidak terlihat kalau sudah tak ditinggali selama beberapa tahun.

"Makasih loh bunda, Lia kirain bunda dan yang lain udah lupa sama kita," canda Lia saat mereka duduk santai di gazebo halaman depan rumah Lia setelah memasukkan barang-barang ke dalam.

"Iss kamu nih!" Dina menggeplak lengan Lia pelan, sedangkan yang lain hanya terkekeh.

"Ayah kirain tadi kamu itu Amel, loh," ucap Yoga kembali mengingat saat ia salah menyebut nama ketika di bandara.

"Iya, kok Lia sekarang gayanya mirip sama Amel? Padahal dulu walaupun kalian mirip tapi kesukaannya bener-bener beda loh," ujar Dina menimpali.

"Hehe, Amel tuh kece banget bunda! Lia aja bangga punya kembaran kaya Amel. Padahal kan muka kita sama, tapi vibes nya itu beda banget!" serunya menggebu-gebu.

Arista, Dina dan Yoga hanya bisa tertawa ketika Lia sibuk membangga-banggakan kembarannya sendiri dan mencerca dirinya yang kesulitan untuk mengikuti jejak saudara serahimnya itu.

Tak lama setelah itu, pasangan Yoga Dina pergi pamit untuk pulang karena ingin ibu dan anak yang baru saja mendarat dari perjalanan jauh itu beristirahat dengan nyaman.

Malamnya, mereka mengadakan acara barbeque sederhana di belakang rumah Lia dengan tiga keluarga yang sudah lama tidak berkumpul walaupun kurang lengkap tanpa Amel dan Eren.

"Jadi, Amel gak ikut karena jagain Papa Eren ya?" tanya Dafa lesu karena tidak bisa melihat si kembar bersama. Padahal sudah cukup lama ia menahan diri untuk tidak memikirkan si kembar selama mereka pergi, setelah kembali eh malah yang satu harus tinggal di Paris.

"Amel juga minta maaf karena gak bisa ikut balik, soalnya papa juga lagi gak bisa ninggalin kantor yang ada di sana." Lia menatap para orangtua yang sedang bersenda gurau beberapa meter di depannya.

"Gitu ya? Sayang banget, padahal gue kangen sama kalian berdua loh," lirihnya murung. Bukan berarti ia tak senang dengan Lia, hanya saja ia merasa lebih lengkap jika ada Amel juga bersama mereka. Karena yang satu sudah tak bisa lagi menemani mereka.

"Oh iya, gimana kalo kita telepon aja?" Lia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel pintarnya.

"Heh! Di sini sama di sana kan beda tujuh jam Lia!" Dafa menyentil dahi Lia yang sepertinya melupakan perbedaan waktu Paris dengan Indonesia.

"Aww! Sakit Dafa!" Lia cemberut sambil mengusap dahinya yang terasa panas.

"Dikit doang, elah!" elak Dafa membela diri.

"Dafa, Lia. Sini! Udah mateng nih!" seru Gun melambaikan tangannya yang sedang memegang pencapit daging.

Kedua bocah itu berbarengan menghampiri Gun dengan riang karena mereka memang sudah lapar sejak tadi.

"Pelan-pelan, masih panas!" seru Arista ketika melihat Lia tergesa hendak mengambil daging yang baru saja di angkat dari panggangan.

"Iya, ma." Lia beralih mengambil garpu yang ada di dekatnya dan mengambil daging barbeque itu dengan perlahan.

Yang lain terkekeh melihat tingkah Lia yang masih saja ceroboh. Walau semakin mirip dengan Amel, masih ada banyak hal yang membuatnya berbanding terbalik dengan Amel. Ia harus berusaha lebih keras lagi untuk mengejar saudara kembarnya itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang