Bab 5 : Musim Dingin di Paris

0 0 0
                                    

"Bahkan sebelum gue jawab, Lo udah narik kembali pertanyaan yang akan selalu gue jawab 'mau'."

_Dafa Alfarizi

•••

"Dafa, maaf ya, udah ninggalin kamu sendirian. Amel pengen banget sebenernya tinggal di Indo. Tapi, Amel gak mungkin bisa tanpa Lia, Mama dan Papa."

_Amelia Sanjani_

•••

23 Desember

Penerbangan dari Jakarta ke Paris akan berangkat pada pukul dua belas dini hari. Seluruh keluarga tak lupa pula dengan Gun dan Yoga turut ikut mengantar sampai bandara. Para ibu-ibu menangis lebay sambil berpelukan.

Melihat itu, Lia dan Amel pun juga ikut meneteskan air mata karena sedih akan berpisah dengan mereka semua.

Mata Dafa terlihat sebab. Ia sempat menangis sejenak karena tak kuasa menahan betapa sedihnya di tinggal oleh sahabatnya.

"Dafa ... Hiks ... Ki-ta berdu-a udah jan-janji sama kamu, ki-kita bakal ba-balik, ke Indo," ucap Amel sambil senggugukan. Lia sendiri sudah berada di belakang Eren. Ia tidak bisa mengucapkan perpisahan dengan yang lain, ia tidak sanggup. Bahkan walau sudah bersembunyi, air matanya tetap mengalir tanpa henti.

"Sehat-sehat di sana, Ris," ucap Dina pada Arista.

"Jaga diri sama keluarga kamu, ya Ris," timpal Sena. Matanya memerah dengan ingus yang terus meleleh di hidungnya. Ia bahkan sudah melupakan box tissue yang berada di genggamannya. Sengaja ia siapkan untuk acara tangis-menangis seperti ini.

"BYE BYEE, DAFA! MAMA SENA! PAPA GUN! BUNDA! AYAH!" Amel melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar dengan mata sembab. Mereka sudah berjalan hendak ke pesawat. Yang lainpun turut ikut melambaikan tangan mereka.

"Cepet balik, kembarnya Dafa," lirih Dafa. Setelah keluarga itu tak terlihat lagi, Dafa menundukkan pandangannya. Ia meremas kuat-kuat jemarinya.

Tap

Gun menepuk punggung anak laki-laki kesayangannya. Gun tau, Dafa pasti akan merasa kesepian setelah ini. Gun tidak tau apakah Dafa akan seperti saat Tian meninggal atau tidak. Tapi yang pasti, Gun tau putranya pasti merasa sangat kehilangan dan saat ini sudah tidak ada lagi teman yang bisa menghibur dan menemaninya di saat-saat terpuruk.

"Kamu bisa curhat sama Papa nanti," ucap Gun sambil menyengir.

Tahu maksud Gun adalah untuk mengejek, Dafa mendengus kasar dan berbalik menuju ke mobil duluan.

Para orang tua tersenyum maklum melihat itu. Bahkan, saat Tian meninggal, kondisi Dafa jauh lebih buruk dari kondisi Dina dan si kembar.

"Kiamat ke dua nih," gerutu Yoga. Ia memijat pelipisnya karena pusing duluan. Ia jelas mengerti tabiat Dafa ketika di tinggalkan oleh seseorang yang ia sayangi, apalagi sekarang tidak ada si kembar yang akan menghiburnya.

Kali ini, giliran si kembar yang meninggalkannya.

"Papa, kita bakal balik lagi ke sini, kan?" tanya Lia dengan suara yang serak.

"Iya." Eren mengelus kepala kedua putrinya. "Nanti kalau liburan, kita balik ke Indo," ucapnya untuk menghibur putri kembarnya.

Amel tersenyum getir. Perasaannya tak nyaman. Amel takut tidak akan bertemu dengan keluarga di sini. Amel takut tidak akan bisa bertemu dengan Dafa lagi.

AmeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang