"Menangis lah jika itu sakit, Tuhan tidak menciptakan air mata untuk disembunyikan."
•••
"ENGGAK!" Lia meronta-ronta dari gendongan Mamanya.
"MAMA! LEPASIN LIA!" Ia terus berteriak minta untuk di lepaskan. Matanya tak henti menatap sahabat terkasihnya yang tengah terbaring kaku di samping liang lahat.
"Mama, Tian mau diapain?! Tian bangun, ayo kabur! TIANN!" Air matanya berlinang. Tak sanggup melihat Tian akan di kebumikan.
Berbeda dengan Lia, Amel dan Dafa sudah tak sanggup lagi berteriak. Mereka menangis di pelukan Papa nya masing-masing.
"Mama, hiks. Tian jangan di gituin," rengeknya terhadap Arista yang matanya sudah sembab karena terus menerus menangis.
"Bunda," panggilnya. Dina menoleh pada Lia dan berusaha memberikan senyuman. Namun, karena melihat sebegitu kacaunya Lia, ia kembali menangis dalam pelukan Yoga.
"Lia," panggil Arista pada anak perempuannya. Tangan kanannya mengusap kepala itu dengan lembut dan penuh pengertian.
"Lia gak boleh gitu, Sayang," ucapnya. "Nan-nanti, Tiannya sedih kalo kamu kaya gitu loh." Arista berusaha membuat Lia mengerti dan tidak meronta-ronta lagi.
"T-tapi Mama, Tian mau di kubur 'kan? Kenapa Ma? Nanti Tian gak bisa napas." Tangisannya tak terbendung lagi. Semua orang yang menyaksikan pun turut tak tega melihat anak kecil yang menangis dan meronta-ronta karena temannya yang meninggal.
Beberapa ibu-ibu juga ada yang menangis karena suasana di sana sangat pilu. Tangisan Dina yang tadinya sempat pingsan pun menambah kacau suasana di sini.
"Lihat, Tian. Semuanya sedih kalau kamu gak bangun. Semuanya nangisin kamu. Tian, kenapa gak bangun?" batin Amel yang tengah sesenggukan di gendongan Eren.
"Papa," lirih Amel pada Eren. Tangan mungilnya menangkup wajah Eren agar menatap ke arahnya.
Saat Eren menoleh, terlihat di sana mata yang memerah dan berkaca-kaca. Sebentar lagi bulir air itu akan menetes.
"Papa, Ti-tian masih sakit?" tanyanya pelan sambil sesenggukan. Amel sudah berusaha agar tak menangis, namun rasa sedihnya tak bisa di bendung begitu saja oleh anak berusia 5 tahun.
Eren menggeleng. Ia mempertahankan matanya agar tak berkedip. Ia tak ingin menangis di depan putrinya. "Tiannya udah sembuh. Tian udah gak sakit lagi," ucapannya terdengar sedikit gemetar. Sepertinya matanya sudah tak sanggup lagi.
Sambil sesenggukan, Amel memeluk kepala Eren agar beliau bisa meneteskan air matanya. Amel tak mengerti. Mengapa Papanya sangat gigih tak menangis di saat Papa Gun dan Ayah Yoga sudah berlinang air mata.
"Pa-papa kalau mau nangis gini aja ya, hiks. Bi-biar gak di liat o-orang," ujarnya pelan. "Papa ma-malu ya, nangis di depan A-amel? Hehe," ucapnya lagi dengan berusaha bercanda.
Di balik pelukan putrinya, Eren menangis dalam diam. Ia berusaha untuk tak membuat isakan. Kepergian Tian sangat membuat semuanya terpukul. Jika bukan Eren yang meneguhkan hati sahabat-sahabatnya, lalu siapa?
"Amel, Amel anak baik gak boleh nangis, Amel tau kan kenapa?" tanya Eren dalam pelukan Amel. Ia tak memperdulikan kondisinya yang kini tengah berlinang air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amelia
Teen FictionPertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan. Namun, bagaimana akhir dari epilog tanpa prolog? -Amelia's Story